Jumat, 14 Juni 2013

Kebimbangan

Ketika ku haus
secangkir air tiada
ketika ku takut
jiwa merana
samapai kapan ini
seperti, tiada hari di waktu
berilah perubahan Tuhan
Asam Kumbang, Nasib Tua L. Gaol,14/06/2013

Kamis, 13 Juni 2013

Budaya Konsumtif!


Memberantasan Budaya Konsumtif! 
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Perekonomian global yang memperbolehkan barang luar negeri masuk ke pasar Indonesia tidaklah hanya memukul perekonomian di Indonesia. Namun perilaku masyarakat Indonesia pun semakin disorientasi karena pukulan produk dari luar yang begitu menjamur di pasaran. Baik itu produk yang berupa alat komunikasi, otomotif, dan barang-barang jenis lainnya.
Banyaknya barang-barang impor dari luar negeri tersebut menjadikan budaya konsumtif masyarakat Indonesia semakin mengkuatirkan. Hal ini terlihat dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak mampu lagi untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginannya.
Misalnya saja produk Smartphone yang masuk ke pasar Indonesia. Surat kabar harian ini melansir berita bahwa di tahun 2012, masyarakat Indonesia diproyeksikan kian menggandrungi Smartphone alias ponsel pintar.(Analisa, 13/01/2011) Tawaran harga yang semakin murah dari Smartphone semacam Android, Blackberry, dan iPhone ini adalah penyebab yang menjadikan masyarakat indonesia semakin konsumtif. Dan bukan hanya itu saja fasilitas kredit yang murah dari pihak bank-bank untuk pembelian barang tersebut pun membuat masyarakat lupa diri –memaksakan keinginan bukan lagi kebutuhan, sehingga sampai ada yang melakukan pencicilan demi memiliki ponsel pintar tersebut.
Tentunya kita masih ingat juga kejadian pada 25 November 2011, di Lobi Selatan Pasicifik, Jakarta Selatan yang menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah begitu konsumtif. Ketika Perusahan Blackberry Bold 9790 atau yang lazim dikenal dengan nama Bellagio mengadakan diskon sebesar 50 persen bagi 1.000 pembeli telepon pintar(Blackberry Bold 9790), maka masyarakat Indonesia sampai ribuan orang pun memadati lokasi pendiskonan telepon pintar tersebut. Pada hal harga harga awal telepon pintar tersebut adalah Rp 4,6 juta, dan setelah didiskon harganya menjadi 2,3 juta. Setara dengan gaji Pegawai Negeri Sipil golongan III selama sebulan.
Banyaknya orang yang hendak memiliki telepon pintar itu menyababkan suasana di Lobi Selatan Pasicifik pun menjadi berubah kacau, padahal sebelumnya berlangsung dengan tertib. Dan menurut Media televisi sampai 90 orang yang pingsan, dan ada juga yang mengalami patah kaki. (Kompas, 26/11/2011).
Faktor Penyebab
Menurut Ahli Filsafat Ekonomi dari sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, mengatakan, fenomena seperti yang terjadi di Selatan Pasicifik dikarenakan masyarakat tak mampu mengambil jarak terhadap konsumsi. Masyarakat tidak mampu membedakan apa yang sungguh dibutuhkan dan yang diinginkan. Inilah ironi masyarakat kita –buta membedakan kebutuhan atau keinginan.
Herry selanjutnya mengatakan, bahwa, hal itu juga disebabkan terjadi adiksi konsumsi. Masyarakat ketagihan barang-barang konsumtif. Keinginan untuk mengomsumsi sebuah produk itu tak ubahnya seperti orang yang kecanduan narkoba. Karena komsumsi sudah masuk pada tataran adiksi, orang tidak sanggup lagi menayakkan baik atau buruk. Pokoknya secara komplusif menginginkan itu. Seperti ketagiahan heroin,” katanya
Oleh karena itu budaya konsumtif yang sedang merasuki masyarakat Indonesia saat ini sangat perlu untuk diberantas. Karena apabila budaya ini tidak segera diberantas maka masyarakat Indonesia akan semakin jatuh dalam keterpurakan psikologis.
Artinya, masyarakat Indonesia akan mengusahakan berbagai hal untuk memuaskan hasrat keinginan semata. Sementara kebutuhan fisiknya tidak lagi dihiraukan. Pada hal dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Maka jika fisik masyarakat Indonesia tidak sehat karena mendahulukan keinginananya semata, maka secara tidak langsung jiwa atau piskologisnya pun akan terganggu.
Inilah akibat butruk dari budaya konsumtif, yaitu penomorduaan kebutuhan dan keinginan menjadi prioritas utama. Pada hal seharusnya kebutuhanlah yang menjadi utama.
Sungguh mengkawatirkan jika budaya konsumtif masyarakat Indonesia seperti yang ada saat ini tidak segera diatasi. Karena jika hal ini dibiarkan begitu saja, maka dampak lain yang akan menimpa masyarakat Indonesia adalah kecenderungan untuk boros, dan akibatnya adalah akan terjadi kemiskinan pada diri sendiri. Dan yang lebih mengkwatirkan lagi adalah bangsa Indonesia akan memasuki zona termiskin. Termiskin dalam perekonomian dan termiskin dalam berkarya.
Kita bisa melihat indikasi proses pemisikinan yang sedang terjadi di bangsa kita saat ini lewat laporan hasil Reserch In Motion, penghasil Blackberry yang berpusat di Kanada, yang mana pernah menjelaskan, bahwa pertumbuhan pelanggan Blackberry di Indonesia naik 10 kali lipat dalam waktu 24 bulan. Dan diprediksi ada 9,7 juta Blackberry yang bakal dijual di Indonesia tahun 2015. Bukankah hal ini menjadi pukulan keras bagi perekonomian dalam negeri? Demikian juga dengan budaya masyarakat Indonesia yang akan lebih kecanduan untuk memiliki suatu barang dari pada menghasilkan karyanya sendiri?
Kita tentunya tidak mengaharapkan hal yang demikian merusak perjalanan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, budaya konsumtif masyarakat Indonesia yang ada saat ini harus segera diberantas. Menurut hemat penulis langkah yang harus segera dilakukan adalah pensosialisasian dari pemerintah. Pemerintah sebagai pelindung warga Negara Indonesia bukan hanya melindungi dari berbagai tindakan kekerasan saja untuk saat ini, akan tetapi pemerintah harus juga melindungi masyarakat Indonesia dari perilaku-perilaku yang cenderung membahayakan masyarakat dan bangsa –seperti budaya konsumtif.
Pensosialisasian tentang bahaya budaya konsumtif ini dapat dilakukan pemerintah lewat tayangan-tayangan di media elektronik maupun media cetak. Dan tidak ketinggalan pula peran kita untuk mengingatkan saudara sebangsa yang ada di sekitar kita agar tidak membudayakan perilaku konsumtif tetapi membudayakan perilaku hemat. Semoga tahun 2012 ini, kita membudayakan hidup hemat, karena melalaui budaya hidup hemat, kita dan bangsa Indonesia bisa terbebas dari krisis perekonomian.!***



MENULIS DAN PERUBAHAN INDONESIA

Membudayakan Menulis demi Perubahan Indonesia
Oleh : Nasib Tua Lumban Gaol
Nama Kartini tentunya tidak asing lagi di daun telinga kita, karena sosok Kartini merupakan salah seorang tokoh wanita Indonesia yang memberikan pengaruh besar di negeri ini. Namun, pernahkah sebelumnya kita mengetahui bahwa di balik perjuangan Kartini tersebut, diawali dari budaya menulisnya, yang alhasil melalui serentetan tulisnya mampu mengubahkan?
Kartini yang bernama lengkap Raden Adjeng Kartini, adalah seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi yang membawa pengaruh besar di Indonesia. Sosok Kartini memang tidak asing lagi, apalagi setelah dia diangkat menjadi sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional, ketika Presiden Republik Indonesia, Soekarno mengeluarkan SK Presiden No.108 pada tanggal 2 Mei tahun 1964. Hari lahir Kartini pun, 21 April  ditetapkan sebagai hari besar yang harus diperingati setiap tahunnya. Selain itu, lagu Ibu Kartini juga tercipta untuk mengenang dan memaknai lebih dalam tentang perjuangan beliau.
Belajar dari Kartini
Masyarakat pada jaman Kartini memandang perempuan itu sebagai wanita yang memiliki kelas sosial yang rendah. Akibat pandangan yang demikian ini, maka cenderung perempuan mendapat perlakuan yang diskriminasi. Misalnya, perempuan hanya di rumah saja, tidak mendapat pendidikan yang sama dengan kaum pria, ada yang dipoligami, ada yang menikah pada usia dini, dan ada yang dijodoh-jodohkan.
Siapa menduga di tengah peliknya kondisi yang dialami oleh wanita Indonesia pada jaman Kartini waktu itu, Kartini sebagai seorang wanita yang berdarah pribumi turut ambil bagian untuk membebaskan pandangan rendah masyarakat terhadap wanita. Kehadiran Kartini bagaikan tetesan demi tetesan air hujan di musim kemarau –memberi kesegaran yang tak terkatakan.
Kartini awalnya berjuang dari kesadaran akan kondisi yang dialami oleh kaum perempuan yang begitu menggelisahkan hatinya, sehingga  dalam hatinya bertekat untuk membebaskan kaumnya dari tindak ketidakadilan. Sebelum usia 12 tahun kartini sudah belajar bahasa belanda di sekolah di ELS (Europese Lagere School), dan dari sinilah modal awal Kartini untuk membebaskan kaum wanita. Akan tetapi, di usia 12 tahun, kartini harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit, sesuai dengan adat yang berlaku pada waktu itu.
Meskipun demikian, ketika kartini sudah menerima panggilannya untuk membebaskan kaum wanita dari penindasan, maka tinggal di rumah tidak dijadikan dia sebagai alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Semenjak di rumah kartini pun senantiasa belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Inilah salah satu hobi Kartini yang harus kita teladani di jaman sekarang ini, yaitu membaca dan menulis. Apabila seandainya Kartini tidak membangun budaya menulis dari awalnya, tentunya maksud baik Kartini untuk membebaskan kaum wanita dari penindasan kaum pria hanya ada dalam mimpi saja.
Membaca dan menulis dijadikan Kartini sebagai wahana untuk membuka cakrawala pemikirannya dan mengasah kemampuan berpikirnya. Tulisan demi tulisan pun habis dibaca oleh kartini, walapun tulisan itu kebanyakan berbahasa belanda. Misalnya, majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Dan melalui keseringan membaca majalah wanita belanda itu, Kartini pun terinspirasi untuk mengirimkan tulisannya, dan tulisanya  tersebut dimuat di majalah Belanda itu.
            Setelah semakin banyak tulisan-tulisan kartini, karena ketekunannya menulis, yang dibaca oleh masyarakat dan kaum Belanda ketika itu, maka lambat laun pandangan masyarakat dan kaum Belanda pun menjadi berubah terhadap wanita. Yaitu, mereka tidak lagi memandang wanita  itu sebagai kaum yang harus diberlakukan tidak adil atau menindas status sosial –tidak mendapat pendidikan dan ada pemaksaan untuk menikah.
Inilah menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh tulisan dari Kartini. Seandainya dia tidak menuangkan kegelisahan demi kegelisan yang dialaminya lewat tulisan-tulisannya, maka kemenagan kaum wanita pun tidak akan diperoleh hingga hari ini. Selain itu, ide-ide brilian kartini pun akan terkubur bersama jasadnya apabila tidak dituliskannya. Alias tidak akan muncul suatu peubahan. Apakah penduduk negeri ini  hanya akan menguburkan ide-idenya?
Bangsa kita saat ini sedang diselimuti berbagai permasalahan –kemiskinan, korupsi, kebodohan, dan ketidakadilan. Dengan demikian hal mendasar yang perlu kita miliki adalah memunculkan kepekaan atau kepedulian terhadap kondisi bangsa. Sama seperti Kartini yang prihatin atas kondisi yang dialami oleh kaum wanita. Setelah kita prihatin, maka kita harus belajar dari hal yang sedang kita hadapi, selanjutnya menuliskan yang terjadi itu. Sehingga dengan adanya tulisan yang menyimpan gagasan kreatif, maka akan terjadilah perubahan di negeri ini.
Pelajaran berharga selanjutnya yang bisa kita ambil dari Kartni adalah, budaya menulisnya yang mantap.  Demikian juga lah kita hendaknya, jika memang kita memilki impian untuk mengubah Bangsa ini, maka ada baikya kita mulai dari sekarang, yakni membudayakan menuliskan ide-ide yang terlintas di benak kita.
Oleh karena itu, kita patut belajar dari perjungan Kartini yang menghasilkan tulisan-tulisan yang luar biasa, demikian juga dengan semangatnya yang dapat membebaskan wanita dari penindasan. Karena itu hemat penulis, apabila kita hadir dengan tulisan-tulisan dan semangat yang membawa perubahan, maka bangsa ini akan semakin cepat terlepas dari berbagai belenggu masalah. Akhir kata, semoga tulisan saya ini dapat memberikan pencerahan dan motivasi, demi perubahan Indonesia menuju yang lebih baik. ***

Kuliah di Harvard

Belajar di Harvard adalah impianku. Kiranya Tuhan mempersiapkan saya supaya bisa melanjutkan studi di Amerika Serikat, walaupun hal ini kelihatannya sangat mustahil. Akan tetapi, bagi Tuhan Yesus Kristus tiada yang mustahil.

PUISI: Lingkungan dan Bumi



Tentang Lingkungan dan Bumi
Bumi
Nasib Tua Lumban Gaol
Begitu bulat bagai bola hijau
Itulah bumi dahulu kala
Semerbak kehijauan menyejukkan hati
Tak terbeli oleh emas atau perak
          Namun hijau itu kini berlari pergi
          Kerakusan manusia,
          Ambisi tiada henti,
          Menjadi api pembakar kehijauan itu
                   Medan,  Juli 2011

Patah dan Rontok
Nasib Tua Lumban Gaol
 Bukan sayap yang patah
Atau bulu sayap yang rontok
Tetapi keduanya sirna
Bagai mentari pergi ke peraduan
          Pohon yang dulu begitu lebat
Bagai bidadari termasyur
Kini menjadi tinggal bumi
Bekas sang pohon hidup
          Medan,  Juli 2011

Berikanlah
Nasib Tua Lumban Gaol
Kita tidak hadir sebatang kara
Banyak makhluk menyelimuti bumi
Tangisannya adalah tangisan kita
Bumi perih dan menjerit kini
          Kata tak terucap dari kesakitannya
          Tapi dia memberikan rasanya itu kepada kita
          Pemanasan Global jadi buktinya
          Tidakkah pilu hati kita melihat bumi ini?
          Medan,  Juli 2011
Dipublikasikan Analisa, 20 juli 2011

PUISI PERGUMULAN HIDUP



BUKAN AKU YANG MAU
Nasib Tua Lumban Gaol
Sedemikan sedihnyalah hidup
merangkaikan waktu dengan tangisan
berluka-luka hati yang terkoyak
kemarahan itu tidak aku tahu
sudahlah mungkin inilah nasibku.
            Asam Kumbang, Mei 2013

KEMELARATAN
Nasib Tua Lumban Gaol
Menangis aku setiap waktu
kelamnya hidup telah menistaku
bukan kerja ini atau kerja itu
bukan wanita ini atau wanita itu
semua telah menganiayaku
Sang pemberi cinta,...
sampai kapan aku menderita
menyaksikan ketidakbahagian jiwa
bagai penulis menulisi ide tiada
                        Asam Kumbang, Mei 2013

MENGENASKAN
Nasib Tua Lumban Gaol
Hari ini sebuah cerita sebegitu pilu
tembok dan buku jadi saksi bisu
malam bersambut gelap gulita
matahari pun telah berlalu
oh, iblis penganiaya batinku
engkau membuat cinta jadi dosa
betapa sialnya hari-hariku karenamu
menjauhlah engkau dari hidupku
            Asam Kumbang, Mei 2013

AKU TAK TAHU
Nasib Tua Lumban Gaol
Sedetik saja berlalu
segala angan melambung jauh
aku tak tahu semua itu
karena jiwa ini sakit merintih
oh, Tuhaku tolonglah aku
karena dosa aku jadi lemah
sampai kapan derita ini ada?
            Asam Kumbang,  Mei 2013
Dipublikasikan Harian Analisa, 29 Mei 2013