Sabtu, 22 Juni 2013

PENGERTIAN PENDIDIK

       Kita semua adalah pendidik. Karena pendidik itu tidak dibatasi oleh gelar yang kita peroleh dari lembaga formal atau tempat dimana kita berada. Melainkan, pendidik itu adalah penterjemahan sikap dalam kehidupan sehari-hari baik lewat kata-kata atau tingkah laku.(Nasib Tua Lumban Gaol, S.Pd)

ARTIKEL: PENTINGNYA PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN

Pendidikan dengan Pendidik
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pendidikan itu penting. Karena sebenaranya proses pendidikan itu terjadi bukan hanya di dalam ruangan, melainkan di luar gedung juga. Dengan adanya pemberian contoh dari seseorang kepada orang lain sebenarnya itu sudah merupakan pendidikan.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional(2002 : 263) memberi batasan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Jadi memang pendidikan itu bisa dilakukan dimana pun juga, asalkan kegiatan itu ada menghasilkan perubahan sikap dan perilaku seseorang.
Dengan demikian, siapakah yang bisa dikatakan pendidik itu? Jadi, pendidik itu adalah para manusia yang sejatinya memberikan sesuatu perubahan bagi diri orang lain –perubahan dalam bersikap maupun berprilaku. Karena itulah, pendidik tidak hanya mereka yang berada di dalam kelas atau gedung sekolah saja melainkan kita semua yang memiliki kasih sayang kepada setiap umat manusia.
Keterikatan hubungan antara pendidikan dengan pendidik itu ibarat nafas dengan tubuh. Tubuh tidak berguna tanpa adanya nafas di dalam tubuh. Dengan kata lain tubuh sama saja sudah mati. Begitu juga pendidikan tidaklah ada apabila seorang pendidik itu tidak ada. 
Melihat betapa eratnya hubungan antara pendidikan dan pendidik maka sebenarnya kita tidak perlu terus-menerus menyalahkan pemerintah, karena sebenarnya kita semua adalah pelaku pendidikan –pendidik. Kita bisa membentuk sebuah komunitas bagi orang lain demi melahirkan pelaksanaan pendidikan yang berkualitas.
            Selain itu, ketika kita bertemu atau menjalin hubungan dengan orang lain: kita bersikap dengan sopan dan ramah, sebenarnya kita telah melaksanakan pendidikan. Semoga kita menjadi pendidik-pendidik yang dapat memajukan Republik Indonesia.

Jumat, 21 Juni 2013

Cerita Singkat di Sore Hari

  Perenungan Singkat
       Secercah harapan hari ini seperti butiran air hujan yang menyemangati kegersangan hari-hariku.
       Semoga diriku dimampukan menjadi sungai yang mengalirkan limpahan kasih dari Tuhan Yesus Kristus, Sanga Juru Selamat umat manusia kepada seluruh manusia, siapapun mereka.
       Selamat Malam Semuanya. Tetaplah semangat, hitamnya pribadi kita bukanlah hal yang menjauhkan kita dari Dia, karena di saat pribadi kita hitam Tuhan Yesus sendang bersedih dan mengharapkan kembalinya kita kepada Dia. Berdoalah...! (NT LUGA, 21 Juni 2013)

Kamis, 20 Juni 2013

KAMPUS TERBAIK

BERIKUT BEBERAPA NAMA KAMPUS YANG BERKUALITAS




CERPEN_ANAK SEDANG UJIAN


AKU HARUS BERJUANG

Perlu Percaya Diri Saat Ujian
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
“Vicky, tidur kamu Nak, besok kan kamu akan mengikuti Ujian Semester.” Dengan kesal Ibu menyuruh Budi sambil mematikan TV. Lalu Budi pun pergi ke kamarnya dengan mulut terdiam.
Setelah sampai di kamar, Vicky tidak langsung tidur, dia membaca-baca kunci jawaban yang diterimanya dari seorang Guru Les Private temannya. Vicky mencoba menghapal kunci jawaban tersebut. “Besok kan ujian Matematika, saya harus menghapal jawaban ini sampai dapat. Saya malu nanti gara-gara nilai Matematika, saya jadi tidak bisa juara satu.” Ucap Vicky dengan mengeluarkan nafas kuat dari hidungnya.
Sebenarnya Vicky ragu untuk menghapal kunci jawaban yang dari guru les temannya itu. Dia berpikir sambil mondar-mandir di kamarnya mencari buku Matematika, “Bagaimana mungkin Guru Les temanku itu punya kunci jawaban soal matematika yang diujiankan besok. Soalnya saja kan besok di bagi, dan itu tidak ada yang boleh mengetahuinya. Kunci jawaban ini pasti tidak benar.” 
Ketika buku Matematika sudah ditemukan Vicky. Dia hanya melihat soal dan pembahasannya saja, dan tak berapa lama, dia tergeletak di tempat tidur. Dia pun tertidur pulas.
Tibalah hari senin, bel berbunyi. Kringg...ngg.. anak-anak langsung mengambil posisi berbaris dengan rapai. Ibu Guru berpesan: “Tolong ya Nak, saat ujian kalian menjaga ketertiban di dalam kelas. Jangan ada yang ribut...!”
“Baik Bu,” Demikianlah jawaban dari anak-anak dengan penuh semangat.
Anak-anak pun langsun cepat mengambil posisi duduk di dalam kelas dengan tertib. Sesuai dengan nomor peserta ujian.
Sebelum pengawas masuk ke dalam kelas, Vicky berbicara dengan Rudi. “Rud, ini aku punya kunci jawaban soal Matematika dari guru teman lesku. Apakah kamu mau Rud?”
“Ah,.. saya tidak mau, nanti itu salah”, Rudi menjawab dengan suara pelan.
Rudi kembali melanjutkan perkataanya, “Vicky, lagi pula, kalau kita sedang ujian, kunci jawaban seperti itu tidak perlu dibawa, karena itu hanya akan mengganggu konsentrasi kita dalam mengerjakan soal. Sebaiknya kunci jawaban itu kamu buang saja ke tong sampah. Ingat, kalau ujian itu kita harus memiliki rasa percaya diri dalam menjawab soal supaya berhasil.”
 “Kamu ini Rud memang sok-sokan, nanti nilai Matematikamu jelek baru tau rasa kamu. Sebaiknya saya kantongi saja, nanti saya akan menconteknya.” Dengan rasa bangga karena jawabannya Vicky pun memasukkan kunci jawaban tersebut ke kantong bajunya.
“Buang saja contekanmu itu Vicky! Mencontek itu adalah dosa. Bisa-bisa nanti Tuhan marah kepadamu, sehingga nanti kamu menjadi orang yang tidak berhasil. Apakah kamu mau mendapat nilai bagus, tetapi cita-citamu tidak tercapai?”, dengan suara tenang Rudi menjelaskannya kepada Vicky.
“Yah, saya mau jadi  orang berhasillah Rud...!”
Dengan adanya penjelasan dari Rudi, sebenarnya Vicky sudah mulai berpikir bahwa ujian itu hanyalah untuk menentukan sejauh mana kemampuan yang dimiliki setelah belajar selama ini. Dan, tidak perlu mencontek atau membohongi diri sendiri dengan nilai dari hasil contekan.
Tiba-tiba pengawas pun memasuki ruangan kelas. Suasana kelas menjadi hening, tak ada seorang pun yang berbicara. Demikian juga antara Vicky dan Rudi.
“Selamat pagi Anak-anak..!” Sapa Pak Poltak
“Selamat Pagi Pak...!” 
Kebetulan yang mengawas adalah Pak Poltak. Pak Poltak terkenal dengan sebutan guru yang galak. Ketika melihat Pak Poltak, Vicky takut, dia berpikir pasti tidak akan punya kesempatan untuk melihat kunci jawaban. Apalagi posisi duduknya di depan Pak Poltak.
“Okehlah, sebelum memulai ujian, kalian berdoa dulu ya Nak..!” Semua siswa menundukkan kepala sambil berdoa.
“Doa selesai...!”
Pak Poltak pun membagikan lembar jawaban dan lembar soal kepada anak-anak. Sambil membagi soal Pak Poltak mengingatkan anak-anak supaya terlebih dahulu mengisi biodatanya dengan benar.
Setelah Pak Poltak siap membagikan soal dan lembaran Jawaban, dia pun duduk. Pak Poltak pun mengamati semua siswa dengan seksama. Pak Poltak memang terkenal dengan guru yang jujur, dan tidak suka terhadap tindakan mencontek.
Sesekali Pak poltak memperhatikan sikap Vicky yang selalu gelisah. Karena Vicky gelisah. Pak Poltak memperingatkan Vicky sapaya tertib saat ujian berlangsung. Rupanya Vicky sedang merasa kuatir bahwa kunci jawabannya tidak lagi sempat dilihatnya.
Vicky cemburu melihat Rudi yang dengan serius mengerjakan soal ujiannya.
Karena Vicky sudah ketakutan membuka kunci jaawababnya, kemudian dia berkata: “Seandainya, saya percaya pada kemampuan diri sendiri dan tidak membawa contekan, pasti saya bisa berkonsentrasi untuk mengerjakan soal ini.”
“Sepuluh menit lagi ya Nak, kita kumpul lembar jawabannya. Ayo, periksa kembali biodata kalian, supaya terisi dengan benar semuanya!” Pak Poltak berpesan kepada anak-anak.
“Haaaa.aa... gawat! saya masih mengerjakan lima soal. Gimana ini ya? Dengan buru-buru, Vicky langsung mencontek kunci jawaban, karena Pak Poltak telah keluar ruangan. Karena keasyikan melihat kunci jawaban, Vicky pun tidak tau bahwa Pak Poltak sudah ada di sampingnya.
Yah, Ketahuan dehh..!!
Melihat hal itu, Pak Poltak pun langsung membawa Vicky ke kepala sekolah dan melaporkan semua perbuatannya saat ujian berlangsung. Akhirnya Vicky dinyatakan gagal, dan harus mengulang ujiannya minggu depan.
Vicky merasa menyesal karena sejak awal tidak percaya pada perkataan temannya, yaitu Rudi. Bahkan saat ujian pun dia tidak percaya diri. Vicky lebih percaya pada contekannya. Vicky terus merasa bersalah, karena telah mengabaikan nasehat temannya.


               Akhirnya, ketika Vicky mengikuti ujian ulangan. Dengan adanya rasa percaya diri, Vicky pun bisa mengerjakan soal Matematika dengan hasil yang memuaskan. Dia berterima kasih kepada Rudi, karena sudah mengajarinya untuk memiliki rasa percaya diri. ***

CERPEN_CITA-CITA SEORANG ANAK KECIL



DANIEGO MENJADI DANI
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol, S.Pd
“Daniego, hentikan kalian permainan sepak bolanya Nak!” Demikianlah setiap hari Ibu Sabar, guru kelas 6 SD mengingatkan Daniego dan temannya supaya tidak bermain bola kaki di pagi hari. Ibu Sabar kuatir, konsentrasi anak-anak dalam belajar bisa tergangu, kerena kelelahan bermain sepak bola.
Pada Sabtu pagi, ketika di sekolah, Kepala Sekolah, Pak Tulus, menghampiri seorang anak perempuan. “Ibu Sabar, hari ini tidak ke sekolah Nak, kerena sakit.” Cerita Pak Tulus kepada Kasih.
 Setelah Pak Tulus pergi ke kantor kepala sekolah, Kasih pun tidak tinggal diam. Kasih langsung berlari ke kelas untuk bercerita kepada teman-temannya. “Kata Pak Tulus teman-teman: Ibu Sabar hari ini tidak ke sekolah kerena sakit.” Mendengar cerita Kasih, teman-temannya pun bersedih. Mereka takut Ibu Kasih sakit parah.
Dari luar kelas, Daniego menguping pembicaraan Kasih dengan teman-taman satu kelasnya. Setelah selesai Kasih menceritakan keadaan Ibu Sabar, tiba-tiba Daniego berteriak sangat keras. “Horeee... Ibu Sabar tidak masuk sekolah hari ini. Berarti, saya dan teman-teman bisa bermain bola kaki dengan sepuas-puasnya dong..! Horeee...”
Kasih dan temannya tidak menghiraukan teriakan Daniego. Mereka tetap melanjutkan pembicaraan mengenai Ibu Sabar. “Bagaimana, kalau pulang sekolah kita pergi melihat Ibu Sabar, teman-teman?” Kasih menanyakan semua temannya, dengan bola matanya berkaca-kaca.
Ketika masuk ke dalam kelas, Daniego mendadak langsung menjawab dengan cetus. “Ngapain kita pergi ke tempat Ibu Sabar? Ibu itu kan, tidak pernah sayang kepada kita, saya dan teman laki-laki lainnya selalu dilarang bermain sepak bola. Kan, ibu itu aneh?”
“Terserah kamu Daniego...!” Kasih menjerit. Kasih tidak mau bertengkar dengan Daniego, karena dalam pemikiran Kasih, bertengkar tidaklah menyelesaikan permasalahan. Kasih yakin, Daniego akan menyesali perkataannya yang tidak menghormati guru.
Daniego meletakkan tasnya. Kemudian mengambil sebuah bola kaki dari tas tersebut. Daniego berlari ke lapangan untuk mengajak teman-temannya bermain sepak bola. Permainan Sepak Bola selalu ada karena Daniego setiap hari membawa bola dari rumahnya. Sehingga, ketika Daniego mengajak temannya bermain bola, semua anak laki-laki satu kelasnya pun langsung bersemangat untuk bermain sepak bola.
“Golll...!” teriak Daniego setelah mencetak satu gol ke gawang lawan bermainnya. Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara “duarrr..”. Ternyata kaca jendela ruang kepala sekolah pecah dibuat bola yang ditendang oleh Daniego.
Kring...Kring...Krinngngngn...! Bel masuk kelas pun berbunyi. Tetapi Daniego dan temannnya yang bermain bola tidak masuk kelas. Mereka masuk ke kantor kepala sekolah dan menghadap Pak Tulus. Tiba-tiba Daniego mengangkat kepalanya, dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat kepada Pak Tulus sambil berkata, “Pak, saya minta maaf karena saya telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah menjadi pecah.”
“Sebenarnya, kan, kalian sudah dilarang untuk tidak bermain bola kaki di lingkungan sekolah ini, tetapi, toh juga kalian masih bermain sepak bola. Nah, inilah akibatnya kalau murid tidak taat pada nasehat guru.” Tegas Pak Tulus kepada semua anak yang bermain bola kaki.
 “Ibu Sabar sedang sakit. Apakah kalian sudah tau, Nak? Tanya Pak Tulus dengan tenang. Pak Tulus mengalihkan pembicaraan supaya anak-anak tidak begitu bersedih karena dimarahi.
“Saya sudah tahu Pak. Tadi Kasih bercerita di dalam kelas: Ibu Kasih tidak dapat masuk karena sakit” Daniego menjawab sambil bercampur perasaan menyesal. Dia berpikir, seandainya tadi saya membicarakan tentang kunjungan kami ke rumah Ibu Sabar, pasti kaca jendela kantor kepala sekolah tidak akan pecah. Yah, memang inilah akibat ego atau mementingkan diri sendiri.
“Baiklah kalau kalian sudah tahu. Nah, Bapak tidak mau lagi melihat kalian bermain sepak bola. Dengarkan Nak..?” Anak pun menjawab dengan gugup, “Dengar Pak”. “Baiklah kalau begitu, hari ini Bapak memaafkan kalian, tetapi kalau kalian melakukan hal ini lagi, kalian akan dipecat dari sekolah, karena tidak menaati nasehat guru.” Pak Tulus membuat janji kepada anak-anak.
Daniego, dan teman-temannya pun berjalan menuju kelas. Daniego hanya menundukkan kepalanya ketika berjalan ke dalam kelas. Daniego sangat menyesali perbuatan yang dilakukannya. Setiba di kelas, Daniego hanya terdiam.
 Kasih dan teman perempuannya yang di kelas bergeser ke tempat duduknya masing-masing. Pak Tulus pun sudah masuk ke dalam kelas dan akan memulai pelajaran Matematika.
Namun, karena Daniego telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah pecah, pelajaran matematika pun ditiadakan Pak Tulus. “Kalian itu nak, dipercayakan orang tuamu di sekolah ini untuk dididik oleh guru. Guru adalah orang tua kalian di sekolah ini. Nasehat guru atau orang tua itu haruslah kalian patuhi, kalau tidak, kalian akan mendapat akibat yang tidak baik.”
Pak Tulus melanjutkan nasehatnya , “Daniego adalah contohnya Nak.! Karena dia tidak mematuhi nasehat guru selama ini, dia terus bermain bola, hingga akhirnya kaca jendela kantor kepala sekolah pun pecah. Bapak berharap, di sekolah dan di rumah kalian haruslah selalu mentaati nasehat guru dan orang tua.”
Setelah Pak Tulus menasehati anak-anak begitu lama, bel pulang pun berbunyi. Kringg..nggg...! Anak-anak pun menyimpan buku dan alat tulisnya. “Okeh, nak kita akan pulang sekarang. Tapi, sebelumnya mari kita berdoa, dan jangan lupa ya mendoakan Ibu Sabar. Semoga Ibu Sabar cepat sembuh.” Pesan Pak Tulus. Setelah berdoa, anak-anak langsung keluar dari ruang kelas dengan tertib sambil menyalami Pak Tulus.
Ketika Daniego telah tiba di rumah. Daniego terdiam. Orang tuanya bingung melihat Daniego. “Kenapa kamu diam nak?” Tanya Ayah Daniego. “Pak, saya tadi bermain sepak bola dengan teman-teman di sekolah. Saya membuat kaca jendela kepala sekolah pecah. Dan kalau saya bermain sepak bola lagi di sekolah, maka saya akan di pecat Pak.” Daniego menjawab pertanyaan ayahnya.
 “Saya sangat suka bermain sepak bola Pak. Bagaimana ini Pak?” Lanjut Daniego bertanya dengan sangat sedih kepada ayahnya.
“Daniego, memang betul yang dikatakan oleh gurumu itu Nak. Ya sudah begini saja, Daniego masuk sekolah sepak bola saja! Di sana kemampuan bermain sepak bolamu akan semakin baik lagi apabila kamu tekun berlatih.” Dengan senang hati Daniego pun menjawab, “Iya Pak, saya mau.”
Di sekolah sepak bola itu, Daniego berlatih dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya, Daniego menjadi pemain sepak bola terbaik di Indonesia pada usia 12 tahun.
Daniego sadar bahwa kemampuannya yang baik dalam bermain sepak bola adalah karena kepatuhannya kepada nasehat guru dan orang tua. Daniego pun menjumpai Pak Tulus di kantor kepala sekolah. “Pak, saya telah menjadi pemain bola terbaik di Indonesia pada usia saya ini. Nasehat Bapak dan Ibu guru, dan juga orang tualah yang membuat saya memperoleh cita-cita, yaitu pemain bola terbaik.” Cerita Daniego dengan bahagia.
 Daniego melanjutkan perkataannya, “Pak saya mau meminta sesuatu kepada Bapak.” Pak Tulus pun menjawab, “apa yang bisa Bapak bantu nak?”  Daniego pun merasa bangga karena ada tanggapan dari Pak Tulus. Kemudian Daniego berkata, “Pak saya meminta tolon supaya Bapak mengganti nama saya.”  Sebelumnya, Daniego telah diberi ijin oleh kedua orang tuanya untuk mengganti namanya.
Hehehe... Dengan merasa bangga Pak Tulus menjawab, “baguslah Nak. Kami semua guru sangat bangga kepadamu. Untuk namamu tunggu sebentar ya nak..!”
Pak Tulus berdiskusi dengan Ibu Sabar selama sepuluh menit. Akhirnya, Pak Tulus mengurangi nama Daniego menjadi Dani. “Namamu jadi Dani, saja ya nak. Artinya kami gurumu telah berhasil menghilangkan egomu.” Jawab Pak Tulus kepada daniego. Memang ego atau mementingkan diri sendiri tidaklah akan membuat seseorang menjadi berhasil.
Lanjut Pak Tulus, “Semoga kamu menjadi pemain bola terbaik di dunia ya nakku...!
Akhirnya setelah mendengar penjelasan dari Pak Tulus, Dani pun merasa bangga dengan nama barunya. Dani menjadi anak baik dan selalu taat terhadap nasehat guru dan orang tuanya.

CERPEN_ANAK YANG MENANTIKAN JODOHNYA



BUKAN AKU TIDAK MAU, IBU...!
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Amang, apa lagi yang kamu tunggu? Usiamu sudah 35 tahun, sementara kamu belum menikah.” Demikian pertanyaan Ibu Untung  kepada anaknya yang paling kecil, atau siampudannya (dalam bahasa Batak Toba).
Oma, dang au naso olo mengoli: Ibu, bukan saya yang tidak hendak menikah.” Untung menjawab pertanyaan ibunya. Dia sangat sedih karena setiap Untung pulang kampung ke Samosir – dari Medan, ibunya selalu menanyakan hal itu.
Memang untung telah bekerja sebagai Dosen di salah satu Universitas terbaik di Sumatera. Namun, dengan usianya yang sudah sampai 35 tahun, kebahagian orang tuanya belumlah sempurna karena untung belum menikah. Hal itulah yang selalu dipertanyakan ibu Untung kepada anaknya tersebut.
Ibunyapun diajak untung untuk ikut ke Medan. Untung sudah lama sekali ingin mengajak ibunya pergi ke Medan, karena ketika pulang kampung ibunya selalu menanyakan keadaan tempat tinggalnya yang sebenarnya. Ibunya kuatir kalau dia tinggal di Medan hanyalah kerja dan tidak merawat dirinya.
Untung dan ibunya pun sudah tiba di Medan.
Pada pagi hari sebelum berangkat kerja ke Kampus untung berbicara dengan ibunya. “Ibu, tolong ya jangan pertanyakan lagi tentang kapan saya akan menikah? Karena hal itu hanyalah menambah beban saya ibu.” Ucap untung kepada ibunya dengan tatapan sedih di kedua bola matanya.
“Baiklah Nak,..!” Ibu untung pun menjawab anaknya dengan sedih.
“Ibu, saya permisi pergi kerja ya.”
“Ya Nak..!”
            Untung pun menghidupkan sepeda motornya, kemudian pergi berangkat kerja.
Ketika untung telah pergi bekerja, ibunya itu meneteskan air matanya. Dia kuatir dengan kondisi anaknya kelak, apabila dia belum mempunyai istri. Dalam pikiran ibu itu, “Betapa menderitanyalah nanti anakku ini apabila saya sudah menghadap Sang Pencipta.”
            Segera ibu itu berjalan ke arah kamarnya, kemudian di kamar itu, ibu untung menutupkan pintu. Kemudian dia berlutut berdoa kepada Tuhan. “Ya,  Tuhan, betapa sudah tuanya anakku, akan tetapi dia belum menemukan teman hidupnya. Apakah Tuhan mengkehendaki dia supaya hidup melajang?”
            “Oh Tuhan, biarlah kiranya Tuhan mempertemukan dia dengan teman hidupnya, yang dapat menolong dia supaya lebih baik lagi dalam melakukan pekerjaannya.” Lanjut Ibu Untung berdoa.
            Setelah selesai berdoa, Ibu Untung memiliki ide untuk anaknya supaya melepas status kelajangannya. Walaupun dia tahu bahwa menikah itu adalah karunia dari Tuhan, dan tidak menikah itu juga adalah karunia Tuhan.
            “Berusaha. Harus berusahalah aku supaya anakku ini bisa secepatnya menikah.” Demikianlah Ibu Untung berbicara dalam hatinya.
            Beberapa waktu kemudian, Ibu Untung menelpon pariban Untung dari Bandung. Kebetulan wanita itu masih berusia 27 tahun. Ibunya berpikir, apabila nanti Untung bertemu dengan paribannya itu yang sudah bekerja sebagai Bidan, Untung pasti mau menikah dengannya.
            “Tiur, kapan kamu pulang dari Bandung, maenku(Artinya anak dari saudara laki-laki ibu Untung)?” Ibu Untung bertanya dengan harapan Tiur mau menikah dengan Untung
            “Minggu depan namboru.” Saut Tiur
“Ohh, baiklah maen,”
Seketika pulang dari Bandung. Untung diajak ibunya ke rumah Tiur. Mereka pun berkenalan di sana. Tapi sayang, Untung tidak begitu tertarik dengan Tiur. Padahal begitu melihat untung, Tiur langsung jatuh hati.
Mereka pun tiba-tiba pulang dari rumah Tiur.
Setelah tiba di di rumah, Ibu Untung bertanya. “bagaimana Untung, apakah kamu tertarik melihat paribanmu si Tiur itu? Dia itu telah bekerja sebagai bidan Nak. Kalau kamu menikah dengan dia, kehidupan kalian pasti akan bahagia Nak.”
“Saya tidak suka Oma dengan si Tiur itu..!” Untung menjawab pertanyaan Ibunya dengan kesal.
“Seandainya saya tahu, bahwa tujuan ibu mengajak saya ke rumah Tiur hanya untuk mempertemukan saya dengan Tiur, maka saya tidak akan ikut tadi bersama Ibu ke rumahnya.” Lanjut Untung dengan suara marah kepada ibunya.
“Ibu saya sudah berusah untuk mencari teman hidupku. Namun, apalah boleh saya katakan. Sekian lama saya berteman dengan Uli, tiga tahun yang lalu. Dan harapan saya dialah menjadi istri nantinya, etapi apa yang terjadi, malah dia telah menikah dengan pria yang lain.”
Untung termasuk manusia yang idealis. Dia tidak sembarang menaburkan cintanya kepada orang. Ketakutannya untuk menikah dikarenakan pengalaman bercintanya yang begitu mengecewakan, dan juga belum ditemukannya wanita yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkannya.
Akhirnya, dalam hidup itu yang benar akan selalu bertahan hidup. Namun, tidak selamanya apa yang benar bagi kita, itu benar bagi orang lain. Oleh karena itu, Untung hanya berpikir sederhana bercampur teologis. “Biarlah semua terjadi indah pada waktunya Ibu, Ibu tidak perlu lagi memaksa saya untuk menikah. Apabila nantinya Tuhan mau saya menikah, Dia pasti menunjukkan teman hidup yang sepadan dengan saya.”
Rumah pun menjadi hening. Sehening kuburan di malam hari. Untung dan Ibunya terdiam membisu selama satu jam. Setelah itu untung pergi ke kamarnya dan berdoa, kemudian tidur.
Dan Ibu untung pun pergi ke kamarnya, dan selalu mendoakan anaknya supaya mendapatkan teman hidupnya.***