Kita
semua adalah pendidik. Karena pendidik itu tidak dibatasi oleh gelar
yang kita peroleh dari lembaga formal atau tempat dimana kita berada.
Melainkan, pendidik itu adalah penterjemahan sikap dalam kehidupan
sehari-hari baik lewat kata-kata atau tingkah laku.(Nasib Tua Lumban Gaol, S.Pd)
Butiran - Butiran Ide yang mendahagakan kekeringan Pendidikan saat ini dan di waktu mendatang. Semoga Ide-Ide ini memiliki manfaat dan menjadikan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Sabtu, 22 Juni 2013
ARTIKEL: PENTINGNYA PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN
Pendidikan dengan Pendidik
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa pendidikan itu penting.
Karena sebenaranya proses pendidikan itu terjadi bukan hanya di dalam ruangan,
melainkan di luar gedung juga. Dengan adanya pemberian contoh dari
seseorang kepada orang lain sebenarnya itu sudah merupakan pendidikan.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional(2002 : 263)
memberi batasan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. Jadi memang
pendidikan itu bisa dilakukan dimana pun juga, asalkan kegiatan itu ada
menghasilkan perubahan sikap dan perilaku seseorang.
Dengan demikian, siapakah yang bisa dikatakan pendidik itu?
Jadi, pendidik itu adalah para manusia yang sejatinya memberikan sesuatu
perubahan bagi diri orang lain –perubahan dalam bersikap maupun berprilaku. Karena
itulah, pendidik tidak hanya mereka yang berada di dalam kelas atau gedung
sekolah saja melainkan kita semua yang memiliki kasih sayang kepada setiap umat
manusia.
Keterikatan hubungan antara pendidikan dengan pendidik itu
ibarat nafas dengan tubuh. Tubuh tidak berguna tanpa adanya nafas di dalam
tubuh. Dengan kata lain tubuh sama saja sudah mati. Begitu juga pendidikan
tidaklah ada apabila seorang pendidik itu tidak ada.
Melihat betapa eratnya hubungan antara pendidikan dan
pendidik maka sebenarnya kita tidak perlu terus-menerus menyalahkan pemerintah,
karena sebenarnya kita semua adalah pelaku pendidikan –pendidik. Kita bisa
membentuk sebuah komunitas bagi orang lain demi melahirkan pelaksanaan
pendidikan yang berkualitas.
Selain itu, ketika kita bertemu atau
menjalin hubungan dengan orang lain: kita bersikap dengan sopan dan ramah,
sebenarnya kita telah melaksanakan pendidikan. Semoga kita menjadi
pendidik-pendidik yang dapat memajukan Republik Indonesia.
Jumat, 21 Juni 2013
Cerita Singkat di Sore Hari
Perenungan Singkat
Secercah harapan hari ini seperti butiran air hujan yang menyemangati kegersangan hari-hariku.
Semoga diriku dimampukan menjadi sungai yang mengalirkan limpahan kasih dari Tuhan Yesus Kristus, Sanga Juru Selamat umat manusia kepada seluruh manusia, siapapun mereka.
Selamat Malam Semuanya. Tetaplah semangat, hitamnya pribadi kita bukanlah hal yang menjauhkan kita dari Dia, karena di saat pribadi kita hitam Tuhan Yesus sendang bersedih dan mengharapkan kembalinya kita kepada Dia. Berdoalah...! (NT LUGA, 21 Juni 2013)
Secercah harapan hari ini seperti butiran air hujan yang menyemangati kegersangan hari-hariku.
Semoga diriku dimampukan menjadi sungai yang mengalirkan limpahan kasih dari Tuhan Yesus Kristus, Sanga Juru Selamat umat manusia kepada seluruh manusia, siapapun mereka.
Selamat Malam Semuanya. Tetaplah semangat, hitamnya pribadi kita bukanlah hal yang menjauhkan kita dari Dia, karena di saat pribadi kita hitam Tuhan Yesus sendang bersedih dan mengharapkan kembalinya kita kepada Dia. Berdoalah...! (NT LUGA, 21 Juni 2013)
Kamis, 20 Juni 2013
CERPEN_ANAK SEDANG UJIAN
AKU HARUS BERJUANG |
Perlu Percaya Diri Saat Ujian
Oleh:
Nasib Tua Lumban Gaol
“Vicky,
tidur kamu Nak, besok kan kamu akan mengikuti Ujian Semester.” Dengan kesal Ibu
menyuruh Budi sambil mematikan TV. Lalu Budi pun pergi ke kamarnya dengan mulut
terdiam.
Setelah
sampai di kamar, Vicky tidak langsung tidur, dia membaca-baca kunci jawaban
yang diterimanya dari seorang Guru Les
Private temannya. Vicky mencoba
menghapal kunci jawaban tersebut. “Besok kan ujian Matematika, saya harus
menghapal jawaban ini sampai dapat. Saya malu nanti gara-gara nilai Matematika,
saya jadi tidak bisa juara satu.” Ucap Vicky dengan mengeluarkan nafas kuat
dari hidungnya.
Sebenarnya
Vicky ragu untuk menghapal kunci jawaban yang dari guru les temannya itu. Dia
berpikir sambil mondar-mandir di kamarnya mencari buku Matematika, “Bagaimana
mungkin Guru Les temanku itu punya kunci jawaban soal matematika yang
diujiankan besok. Soalnya saja kan besok di bagi, dan itu tidak ada yang boleh
mengetahuinya. Kunci jawaban ini pasti tidak benar.”
Ketika
buku Matematika sudah ditemukan Vicky. Dia hanya melihat soal dan pembahasannya
saja, dan tak berapa lama, dia tergeletak di tempat tidur. Dia pun tertidur
pulas.
Tibalah
hari senin, bel berbunyi. Kringg...ngg.. anak-anak langsung mengambil posisi
berbaris dengan rapai. Ibu Guru berpesan: “Tolong ya Nak, saat ujian kalian
menjaga ketertiban di dalam kelas. Jangan ada yang ribut...!”
“Baik Bu,” Demikianlah
jawaban dari anak-anak dengan penuh semangat.
Anak-anak
pun langsun cepat mengambil posisi duduk di dalam kelas dengan tertib. Sesuai
dengan nomor peserta ujian.
Sebelum
pengawas masuk ke dalam kelas, Vicky berbicara dengan Rudi. “Rud, ini aku punya
kunci jawaban soal Matematika dari guru teman lesku. Apakah kamu mau Rud?”
“Ah,.. saya tidak mau,
nanti itu salah”, Rudi menjawab dengan suara pelan.
Rudi
kembali melanjutkan perkataanya, “Vicky, lagi pula, kalau kita sedang ujian,
kunci jawaban seperti itu tidak perlu dibawa, karena itu hanya akan mengganggu konsentrasi
kita dalam mengerjakan soal. Sebaiknya kunci jawaban itu kamu buang saja ke
tong sampah. Ingat, kalau ujian itu kita harus memiliki rasa percaya diri dalam
menjawab soal supaya berhasil.”
“Kamu ini Rud memang sok-sokan, nanti nilai
Matematikamu jelek baru tau rasa kamu. Sebaiknya saya kantongi saja, nanti saya
akan menconteknya.” Dengan rasa bangga karena jawabannya Vicky pun memasukkan
kunci jawaban tersebut ke kantong bajunya.
“Buang
saja contekanmu itu Vicky! Mencontek itu adalah dosa. Bisa-bisa nanti Tuhan
marah kepadamu, sehingga nanti kamu menjadi orang yang tidak berhasil. Apakah
kamu mau mendapat nilai bagus, tetapi cita-citamu tidak tercapai?”, dengan
suara tenang Rudi menjelaskannya kepada Vicky.
“Yah,
saya mau jadi orang berhasillah Rud...!”
Dengan
adanya penjelasan dari Rudi, sebenarnya Vicky sudah mulai berpikir bahwa ujian itu
hanyalah untuk menentukan sejauh mana kemampuan yang dimiliki setelah belajar
selama ini. Dan, tidak perlu mencontek atau membohongi diri sendiri dengan
nilai dari hasil contekan.
Tiba-tiba
pengawas pun memasuki ruangan kelas. Suasana kelas menjadi hening, tak ada
seorang pun yang berbicara. Demikian juga antara Vicky dan Rudi.
“Selamat pagi
Anak-anak..!” Sapa Pak Poltak
“Selamat Pagi Pak...!”
Kebetulan
yang mengawas adalah Pak Poltak. Pak Poltak terkenal dengan sebutan guru yang
galak. Ketika melihat Pak Poltak, Vicky takut, dia berpikir pasti tidak akan
punya kesempatan untuk melihat kunci jawaban. Apalagi posisi duduknya di depan
Pak Poltak.
“Okehlah,
sebelum memulai ujian, kalian berdoa dulu ya Nak..!” Semua siswa menundukkan
kepala sambil berdoa.
“Doa selesai...!”
Pak
Poltak pun membagikan lembar jawaban dan lembar soal kepada anak-anak. Sambil
membagi soal Pak Poltak mengingatkan anak-anak supaya terlebih dahulu mengisi biodatanya
dengan benar.
Setelah
Pak Poltak siap membagikan soal dan lembaran Jawaban, dia pun duduk. Pak Poltak
pun mengamati semua siswa dengan seksama. Pak Poltak memang terkenal dengan
guru yang jujur, dan tidak suka terhadap tindakan mencontek.
Sesekali
Pak poltak memperhatikan sikap Vicky yang selalu gelisah. Karena Vicky gelisah.
Pak Poltak memperingatkan Vicky sapaya tertib saat ujian berlangsung. Rupanya
Vicky sedang merasa kuatir bahwa kunci jawabannya tidak lagi sempat dilihatnya.
Vicky cemburu melihat
Rudi yang dengan serius mengerjakan soal ujiannya.
Karena
Vicky sudah ketakutan membuka kunci jaawababnya, kemudian dia berkata: “Seandainya,
saya percaya pada kemampuan diri sendiri dan tidak membawa contekan, pasti saya
bisa berkonsentrasi untuk mengerjakan soal ini.”
“Sepuluh
menit lagi ya Nak, kita kumpul lembar jawabannya. Ayo, periksa kembali biodata kalian, supaya terisi dengan benar
semuanya!” Pak Poltak berpesan kepada anak-anak.
“Haaaa.aa...
gawat! saya masih mengerjakan lima soal. Gimana ini ya? Dengan buru-buru, Vicky
langsung mencontek kunci jawaban, karena Pak Poltak telah keluar ruangan.
Karena keasyikan melihat kunci jawaban, Vicky pun tidak tau bahwa Pak Poltak
sudah ada di sampingnya.
Yah, Ketahuan dehh..!! |
Melihat
hal itu, Pak Poltak pun langsung membawa Vicky ke kepala sekolah dan melaporkan
semua perbuatannya saat ujian berlangsung. Akhirnya Vicky dinyatakan gagal, dan
harus mengulang ujiannya minggu depan.
Vicky
merasa menyesal karena sejak awal tidak percaya pada perkataan temannya, yaitu
Rudi. Bahkan saat ujian pun dia tidak percaya diri. Vicky lebih percaya pada
contekannya. Vicky terus merasa bersalah, karena telah mengabaikan nasehat
temannya.
Akhirnya, ketika Vicky mengikuti ujian ulangan. Dengan adanya rasa percaya diri, Vicky pun bisa mengerjakan soal Matematika dengan hasil yang memuaskan. Dia berterima kasih kepada Rudi, karena sudah mengajarinya untuk memiliki rasa percaya diri. ***
CERPEN_CITA-CITA SEORANG ANAK KECIL
DANIEGO MENJADI DANI
Oleh:
Nasib Tua Lumban Gaol, S.Pd
“Daniego, hentikan kalian
permainan sepak bolanya Nak!” Demikianlah setiap hari Ibu Sabar, guru kelas 6
SD mengingatkan Daniego dan temannya supaya tidak bermain bola kaki di pagi
hari. Ibu Sabar kuatir, konsentrasi anak-anak dalam belajar bisa tergangu,
kerena kelelahan bermain sepak bola.
Pada Sabtu pagi, ketika
di sekolah, Kepala Sekolah, Pak Tulus, menghampiri seorang anak perempuan. “Ibu
Sabar, hari ini tidak ke sekolah Nak, kerena sakit.” Cerita Pak Tulus kepada
Kasih.
Setelah Pak Tulus pergi ke kantor kepala
sekolah, Kasih pun tidak tinggal diam. Kasih langsung berlari ke kelas untuk
bercerita kepada teman-temannya. “Kata Pak Tulus teman-teman: Ibu Sabar hari
ini tidak ke sekolah kerena sakit.” Mendengar cerita Kasih, teman-temannya pun bersedih.
Mereka takut Ibu Kasih sakit parah.
Dari luar kelas, Daniego
menguping pembicaraan Kasih dengan teman-taman satu kelasnya. Setelah selesai Kasih
menceritakan keadaan Ibu Sabar, tiba-tiba Daniego berteriak sangat keras.
“Horeee... Ibu Sabar tidak masuk sekolah hari ini. Berarti, saya dan
teman-teman bisa bermain bola kaki dengan sepuas-puasnya dong..! Horeee...”
Kasih dan temannya
tidak menghiraukan teriakan Daniego. Mereka tetap melanjutkan pembicaraan
mengenai Ibu Sabar. “Bagaimana, kalau pulang sekolah kita pergi melihat Ibu
Sabar, teman-teman?” Kasih menanyakan semua temannya, dengan bola matanya
berkaca-kaca.
Ketika masuk ke dalam kelas,
Daniego mendadak langsung menjawab dengan cetus. “Ngapain kita pergi ke tempat
Ibu Sabar? Ibu itu kan, tidak pernah sayang kepada kita, saya dan teman
laki-laki lainnya selalu dilarang bermain sepak bola. Kan, ibu itu aneh?”
“Terserah kamu Daniego...!”
Kasih menjerit. Kasih tidak mau bertengkar dengan Daniego, karena dalam
pemikiran Kasih, bertengkar tidaklah menyelesaikan permasalahan. Kasih yakin, Daniego
akan menyesali perkataannya yang tidak menghormati guru.
Daniego meletakkan
tasnya. Kemudian mengambil sebuah bola kaki dari tas tersebut. Daniego berlari
ke lapangan untuk mengajak teman-temannya bermain sepak bola. Permainan Sepak
Bola selalu ada karena Daniego setiap hari membawa bola dari rumahnya.
Sehingga, ketika Daniego mengajak temannya bermain bola, semua anak laki-laki satu
kelasnya pun langsung bersemangat untuk bermain sepak bola.
“Golll...!” teriak Daniego
setelah mencetak satu gol ke gawang lawan bermainnya. Tidak lama kemudian,
tiba-tiba terdengar suara “duarrr..”. Ternyata kaca jendela ruang kepala
sekolah pecah dibuat bola yang ditendang oleh Daniego.
Kring...Kring...Krinngngngn...!
Bel masuk kelas pun berbunyi. Tetapi Daniego dan temannnya yang bermain bola
tidak masuk kelas. Mereka masuk ke kantor kepala sekolah dan menghadap Pak
Tulus. Tiba-tiba Daniego mengangkat kepalanya, dan mengakui kesalahan yang
telah diperbuat kepada Pak Tulus sambil berkata, “Pak, saya minta maaf karena
saya telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah menjadi pecah.”
“Sebenarnya, kan,
kalian sudah dilarang untuk tidak bermain bola kaki di lingkungan sekolah ini,
tetapi, toh juga kalian masih bermain
sepak bola. Nah, inilah akibatnya kalau murid tidak taat pada nasehat guru.”
Tegas Pak Tulus kepada semua anak yang bermain bola kaki.
“Ibu Sabar sedang sakit. Apakah kalian sudah
tau, Nak? Tanya Pak Tulus dengan tenang. Pak Tulus mengalihkan pembicaraan
supaya anak-anak tidak begitu bersedih karena dimarahi.
“Saya sudah tahu Pak.
Tadi Kasih bercerita di dalam kelas: Ibu Kasih tidak dapat masuk karena sakit”
Daniego menjawab sambil bercampur perasaan menyesal. Dia berpikir, seandainya
tadi saya membicarakan tentang kunjungan kami ke rumah Ibu Sabar, pasti kaca
jendela kantor kepala sekolah tidak akan pecah. Yah, memang inilah akibat ego atau mementingkan diri sendiri.
“Baiklah kalau kalian
sudah tahu. Nah, Bapak tidak mau lagi melihat kalian bermain sepak bola.
Dengarkan Nak..?” Anak pun menjawab dengan gugup, “Dengar Pak”. “Baiklah kalau
begitu, hari ini Bapak memaafkan kalian, tetapi kalau kalian melakukan hal ini
lagi, kalian akan dipecat dari sekolah, karena tidak menaati nasehat guru.” Pak
Tulus membuat janji kepada anak-anak.
Daniego, dan
teman-temannya pun berjalan menuju kelas. Daniego hanya menundukkan kepalanya
ketika berjalan ke dalam kelas. Daniego sangat menyesali perbuatan yang
dilakukannya. Setiba di kelas, Daniego hanya terdiam.
Kasih dan teman perempuannya yang di kelas
bergeser ke tempat duduknya masing-masing. Pak Tulus pun sudah masuk ke dalam
kelas dan akan memulai pelajaran Matematika.
Namun, karena Daniego
telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah pecah, pelajaran matematika
pun ditiadakan Pak Tulus. “Kalian itu nak, dipercayakan orang tuamu di sekolah
ini untuk dididik oleh guru. Guru adalah orang tua kalian di sekolah ini.
Nasehat guru atau orang tua itu haruslah kalian patuhi, kalau tidak, kalian
akan mendapat akibat yang tidak baik.”
Pak Tulus melanjutkan
nasehatnya , “Daniego adalah contohnya Nak.! Karena dia tidak mematuhi nasehat
guru selama ini, dia terus bermain bola, hingga akhirnya kaca jendela kantor
kepala sekolah pun pecah. Bapak berharap, di sekolah dan di rumah kalian haruslah
selalu mentaati nasehat guru dan orang tua.”
Setelah Pak Tulus
menasehati anak-anak begitu lama, bel pulang pun berbunyi. Kringg..nggg...! Anak-anak
pun menyimpan buku dan alat tulisnya. “Okeh, nak kita akan pulang sekarang. Tapi,
sebelumnya mari kita berdoa, dan jangan lupa ya mendoakan Ibu Sabar. Semoga Ibu
Sabar cepat sembuh.” Pesan Pak Tulus. Setelah berdoa, anak-anak langsung keluar
dari ruang kelas dengan tertib sambil menyalami Pak Tulus.
Ketika Daniego telah
tiba di rumah. Daniego terdiam. Orang tuanya bingung melihat Daniego. “Kenapa kamu
diam nak?” Tanya Ayah Daniego. “Pak, saya tadi bermain sepak bola dengan
teman-teman di sekolah. Saya membuat kaca jendela kepala sekolah pecah. Dan kalau
saya bermain sepak bola lagi di sekolah, maka saya akan di pecat Pak.” Daniego
menjawab pertanyaan ayahnya.
“Saya sangat suka bermain sepak bola Pak.
Bagaimana ini Pak?” Lanjut Daniego bertanya dengan sangat sedih kepada ayahnya.
“Daniego, memang betul
yang dikatakan oleh gurumu itu Nak. Ya sudah begini saja, Daniego masuk sekolah
sepak bola saja! Di sana kemampuan bermain sepak bolamu akan semakin baik lagi apabila
kamu tekun berlatih.” Dengan senang hati Daniego pun menjawab, “Iya Pak, saya
mau.”
Di sekolah sepak bola
itu, Daniego berlatih dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya, Daniego menjadi pemain
sepak bola terbaik di Indonesia pada usia 12 tahun.
Daniego sadar bahwa
kemampuannya yang baik dalam bermain sepak bola adalah karena kepatuhannya
kepada nasehat guru dan orang tua. Daniego pun menjumpai Pak Tulus di kantor
kepala sekolah. “Pak, saya telah menjadi pemain bola terbaik di Indonesia pada
usia saya ini. Nasehat Bapak dan Ibu guru, dan juga orang tualah yang membuat
saya memperoleh cita-cita, yaitu pemain bola terbaik.” Cerita Daniego dengan
bahagia.
Daniego melanjutkan perkataannya, “Pak saya
mau meminta sesuatu kepada Bapak.” Pak Tulus pun menjawab, “apa yang bisa Bapak
bantu nak?” Daniego pun merasa bangga
karena ada tanggapan dari Pak Tulus. Kemudian Daniego berkata, “Pak saya
meminta tolon supaya Bapak mengganti nama saya.” Sebelumnya, Daniego telah diberi ijin oleh
kedua orang tuanya untuk mengganti namanya.
Hehehe... Dengan merasa
bangga Pak Tulus menjawab, “baguslah Nak. Kami semua guru sangat bangga
kepadamu. Untuk namamu tunggu sebentar ya nak..!”
Pak Tulus berdiskusi
dengan Ibu Sabar selama sepuluh menit. Akhirnya, Pak Tulus mengurangi nama
Daniego menjadi Dani. “Namamu jadi Dani, saja ya nak. Artinya kami gurumu telah
berhasil menghilangkan egomu.” Jawab Pak Tulus kepada daniego. Memang ego atau mementingkan diri sendiri
tidaklah akan membuat seseorang menjadi berhasil.
Lanjut Pak Tulus, “Semoga
kamu menjadi pemain bola terbaik di dunia ya nakku...!
Akhirnya setelah mendengar
penjelasan dari Pak Tulus, Dani pun merasa bangga dengan nama barunya. Dani menjadi
anak baik dan selalu taat terhadap nasehat guru dan orang tuanya.
CERPEN_ANAK YANG MENANTIKAN JODOHNYA
BUKAN
AKU TIDAK MAU, IBU...!
Oleh:
Nasib Tua Lumban Gaol
“Amang, apa lagi yang kamu tunggu? Usiamu sudah 35 tahun, sementara
kamu belum menikah.” Demikian pertanyaan Ibu Untung kepada anaknya yang paling kecil, atau siampudannya (dalam bahasa Batak Toba).
“Oma, dang au naso olo mengoli: Ibu, bukan saya yang tidak hendak
menikah.” Untung menjawab pertanyaan ibunya. Dia sangat sedih karena setiap Untung
pulang kampung ke Samosir – dari Medan, ibunya selalu menanyakan hal itu.
Memang untung telah
bekerja sebagai Dosen di salah satu Universitas terbaik di Sumatera. Namun,
dengan usianya yang sudah sampai 35 tahun, kebahagian orang tuanya belumlah
sempurna karena untung belum menikah. Hal itulah yang selalu dipertanyakan ibu
Untung kepada anaknya tersebut.
Ibunyapun diajak untung
untuk ikut ke Medan. Untung sudah lama sekali ingin mengajak ibunya pergi ke
Medan, karena ketika pulang kampung ibunya selalu menanyakan keadaan tempat
tinggalnya yang sebenarnya. Ibunya kuatir kalau dia tinggal di Medan hanyalah kerja
dan tidak merawat dirinya.
Untung dan ibunya pun
sudah tiba di Medan.
Pada pagi hari sebelum
berangkat kerja ke Kampus untung berbicara dengan ibunya. “Ibu, tolong ya jangan
pertanyakan lagi tentang kapan saya akan menikah? Karena hal itu hanyalah menambah
beban saya ibu.” Ucap untung kepada ibunya dengan tatapan sedih di kedua bola
matanya.
“Baiklah Nak,..!” Ibu
untung pun menjawab anaknya dengan sedih.
“Ibu, saya permisi
pergi kerja ya.”
“Ya Nak..!”
Untung
pun menghidupkan sepeda motornya, kemudian pergi berangkat kerja.
Ketika untung telah
pergi bekerja, ibunya itu meneteskan air matanya. Dia kuatir dengan kondisi
anaknya kelak, apabila dia belum mempunyai istri. Dalam pikiran ibu itu, “Betapa
menderitanyalah nanti anakku ini apabila saya sudah menghadap Sang Pencipta.”
Segera
ibu itu berjalan ke arah kamarnya, kemudian di kamar itu, ibu untung menutupkan
pintu. Kemudian dia berlutut berdoa kepada Tuhan. “Ya, Tuhan, betapa sudah tuanya anakku, akan
tetapi dia belum menemukan teman hidupnya. Apakah Tuhan mengkehendaki dia
supaya hidup melajang?”
“Oh
Tuhan, biarlah kiranya Tuhan mempertemukan dia dengan teman hidupnya, yang
dapat menolong dia supaya lebih baik lagi dalam melakukan pekerjaannya.” Lanjut
Ibu Untung berdoa.
Setelah
selesai berdoa, Ibu Untung memiliki ide untuk anaknya supaya melepas status
kelajangannya. Walaupun dia tahu bahwa menikah itu adalah karunia dari Tuhan, dan
tidak menikah itu juga adalah karunia Tuhan.
“Berusaha. Harus berusahalah aku
supaya anakku ini bisa secepatnya menikah.” Demikianlah Ibu Untung berbicara
dalam hatinya.
Beberapa
waktu kemudian, Ibu Untung menelpon pariban Untung dari Bandung. Kebetulan wanita
itu masih berusia 27 tahun. Ibunya berpikir, apabila nanti Untung bertemu
dengan paribannya itu yang sudah bekerja sebagai Bidan, Untung pasti mau
menikah dengannya.
“Tiur,
kapan kamu pulang dari Bandung, maenku(Artinya
anak dari saudara laki-laki ibu Untung)?” Ibu Untung bertanya dengan harapan
Tiur mau menikah dengan Untung
“Minggu
depan namboru.” Saut Tiur
“Ohh, baiklah maen,”
Seketika pulang dari Bandung.
Untung diajak ibunya ke rumah Tiur. Mereka pun berkenalan di sana. Tapi sayang,
Untung tidak begitu tertarik dengan Tiur. Padahal begitu melihat untung, Tiur
langsung jatuh hati.
Mereka pun tiba-tiba
pulang dari rumah Tiur.
Setelah tiba di di
rumah, Ibu Untung bertanya. “bagaimana Untung, apakah kamu tertarik melihat
paribanmu si Tiur itu? Dia itu telah bekerja sebagai bidan Nak. Kalau kamu
menikah dengan dia, kehidupan kalian pasti akan bahagia Nak.”
“Saya tidak suka Oma dengan si Tiur itu..!” Untung
menjawab pertanyaan Ibunya dengan kesal.
“Seandainya saya tahu,
bahwa tujuan ibu mengajak saya ke rumah Tiur hanya untuk mempertemukan saya
dengan Tiur, maka saya tidak akan ikut tadi bersama Ibu ke rumahnya.” Lanjut
Untung dengan suara marah kepada ibunya.
“Ibu saya sudah berusah
untuk mencari teman hidupku. Namun, apalah boleh saya katakan. Sekian lama saya
berteman dengan Uli, tiga tahun yang lalu. Dan harapan saya dialah menjadi
istri nantinya, etapi apa yang terjadi, malah dia telah menikah dengan pria yang
lain.”
Untung termasuk manusia
yang idealis. Dia tidak sembarang menaburkan cintanya kepada orang. Ketakutannya
untuk menikah dikarenakan pengalaman bercintanya yang begitu mengecewakan, dan juga
belum ditemukannya wanita yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkannya.
Akhirnya, dalam hidup
itu yang benar akan selalu bertahan hidup. Namun, tidak selamanya apa yang
benar bagi kita, itu benar bagi orang lain. Oleh karena itu, Untung hanya berpikir
sederhana bercampur teologis. “Biarlah semua terjadi indah pada waktunya Ibu,
Ibu tidak perlu lagi memaksa saya untuk menikah. Apabila nantinya Tuhan mau
saya menikah, Dia pasti menunjukkan teman hidup yang sepadan dengan saya.”
Rumah pun menjadi hening.
Sehening kuburan di malam hari. Untung dan Ibunya terdiam membisu selama satu
jam. Setelah itu untung pergi ke kamarnya dan berdoa, kemudian tidur.
Dan Ibu untung pun
pergi ke kamarnya, dan selalu mendoakan anaknya supaya mendapatkan teman
hidupnya.***
Langganan:
Postingan (Atom)