Kualitas Pendidikan Berdaskan Nilai Palsu
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Selesailah sudah diumumkan
hasil dari pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2013, mulai dari jenjang SMA/SMK,
SMP, dan bahkan SD. Hasil pengumuman tersebut membuat kita sangat terkejut!
Sepertinya dengan kehadiran nilai hasil Ujian Nasional tahun ini, kualitas
pendidikan kita semakin membaik. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian!
Betapa tidak? Untuk
pelaksanaan UN SMA tahun pelajaran 2012/2013, jumlah pesertanya 1.581.286 siswa, dan
yang lulus 1.573.036 siswa atau 99,48 persen, sedangkan yang tidak lulus
hanya 8.260 siswa atau 0,52 persen saja. (metrotvnews.com,
23/05/2013). Selanjutnya berdasarkan pengumuman dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah peserta Ujian Nasional(UN) pada tingkat
SMP/MTs pada tahun pelajaran 2012/2013 mencapai 3.667.241 peserta, sebanyak
3.650.625 atau 99,5 persen dinyatakan lulus. Sementara yang tidak lulus
sebanyak 16.616 atau 0,45 persen.(sindonews.com,31/05/2013).
Dan untuk jenjang SD pasti di atas 99 persen juga. Hal ini terbukti dari
salah satu kota di Indonesia, yaitu Kota Medan, berdasarkan data dari Dinas
Pendidikan Kota Medan, disebutkan bahwa tingkat kelulusan Ujian Nasional(UN)
Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah di Kota Medan tahun 2013 mencapai 99,99
persen.(http://liputanbisnis.com, 10/06/2013).
Sesungguhnya,
kelulusan yang diperoleh para siswa di setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat
SD hingga SMA/SMK dengan persentase mencapai 99 persen adalah sebuah
pembohongan publik yang “disulap” oleh para pengambil kebijakan –Pemerintah. Dengan
data hasil nilai UN, pemerintah bermaksud menutup mata rakyat, walaupun
sebenarnya mereka sudah mengetahui bahwa kondisi sarana dan prasarana
pendidikan Indonesia sangatlah memprihatinkan. Itu semua dilakukan demi
memperkaya diri sendiri dan kelompoknnya saja.
Kenyataan dari sarana dan prasarana yang
memprihatinkan itu sudah jelas dari laporan Mendikbud, Mohammad Nuh, dalam rapat
kerja dengan Komisi X DPR. Yaitu, 88,8
persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu
standar pelayanan minimal (SPM): 40,31 persen dari 201.557 sekolah di bawah SPM
dan 48,89 persen pada posisi SPM. Hanya 10,15 persen memenuhi standar nasional
pendidikan dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional (Kompas, 23/3/2011).
Oleh
karena itu, jika mutu standart pelayanannya hanya memadai sekitar 10,15 persen,
bagaimana mungkin bisa siswa dari SD hingga SMA/SMK mencapai kelululusan hingga
mencapai 99 persen. Bukankah nilai hasil UN yang diumumkan pemerintah itu
adalah sebuah pembohongan publik yang menyengsarakan kehidupan rakyat di masa
mendatang?
Nah,
sekarang saja kualitas pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal dari negara
maju, akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan.
Alhasil, pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia yang unggul dan
berkarakter. Walaupun dengan angka hasil UN yang begitu memuaskan lewat
tampilan datanya, namun sesugguhnya kita telah tertinggal jauh dengan negara
maju.
“Apa yang ditanam, itulah yang akan dituai”. Sebaris kata-kata bijak
tersebut sangat tepat menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Dan
memang, berdasarkan Tabel Liga Global yang diterbitkan oleh Firma
Pendidikan Pearson, Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di
dunia. Sedangkan peringkat pertama dan kedua diraih oleh Finlandia dan Korea
Selatan. (http://www.bbc.co.uk.07/11/2012) Pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal dengan
negara-negara maju. Nah, kalaulah
demikian, apakah pemerintah masih lagi sibuk dengan pelaksanaan UN yang hanya menghasilkan
nilai palsu?
Nilai Palsu
Dengan
tegas, saya menyimpulkan bahwa nilai hasil UN siswa SMA/SMK hingga SD, sebagian
besar adalah nilai palsu atau nilai yang tidak sebenarnya. Artinya, nilai yang
diperoleh siswa dari pelaksanaaan UN tidaklah sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh siswa tersebut. Nilai para siswa banyak yang “disulap” oleh pihak
sekolah atau guru dikarenakan desakan dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Dinas
Pendidikan didesak oleh pemerintah pusat –rahasia umum kebijakan pemerintah
yang memaksakan.
Ketika
kebijakan harus dijalankan, para guru hanya seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya –kemana saja disuruh harus
menurut. Apabila para guru tidak menjalankan kebijakan dari Pemerintah yang
turun ke Dinas Pendidikan, dan turun lagi ke Kepala Sekolah, maka ancaman dipecat
pun akan “menghantui” pikiran para guru. Sementara dengan keadaan sekarang yang
sulit untuk mencari pekerjaan, mau tidak mau, terpaksalah para guru melawan
hati nuraninya dengan membantu siswa saat Ujian Nasional. Ini adalah sebuah
kenyataan yang begitu memprihatikan di dunia pendidikan kita sekarang. Dan hal
ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus.
Karena dengan adanya
pemalsuan nilai, sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa
penghargaan untuk siswa yang berprestasi sangatlah sedikit. Siswa yang belajar
dengan rajin hanya mendapatkan nilai 8 dan nilai 9, sedangkan yang malas belajar nilainya bisa mencapai 7
dan 8, bahkan ada juga mencapai nilai 9. Jelaslah dengan pemberian nilai yang
tidak sesuai dengan kemampuan siswa ini mengakibatkan semakin melemahnya
semangat juang para siswa untuk mengejar prestasi.
Hemat
saya, pemerintah harus menghentikan pelaksanaan UN sebagai alat pengevaluasi
kualiatas pendidikan dan penentu kelulusan siswa. Pelaksanaan UN hanya
menghasilkan nilai palsu dan mematahkan semangat siswa untuk berprestasi. Akibatnya,
banyak siswa yang setelah selesai dari sekolahnya hanya memiliki nilai tinggi,
tetapi tidak memiliki kemampuan atau keterampilan. Dengan kata lain proses
pendidikan kita hanya menghasilkan manusia palsu –tidak sesuai nilai yang
diperoleh dengan kemampuan yang dimiliki.
Oleh
karena itu, pemerintah haruslah mengembalikan hak sekolah atau guru untuk
menilai siswa dengan sejujur-jujurnya, tanpa ada tekanan. Ketika guru sudah
menilai dengan sejujur-jujurnya maka secara otomatis siswa pun akan memiliki
kesadaran untuk belajar lebih rajin lagi. Siswa akan mengetahui secara jelas,
sudah sejauh mana kemampuan yang dimilikinya lewat penilaian yang diberikan
oleh guru. Dengan demikian penilaian dari guru pun berguna sebagai bahan
perbaikan untuk siswa supaya bisa meningkatkan prestasinya.
Akhir
kata, semoga pemerintah tidak memelihara budaya kepalsuan, yaitu menyuruh guru melawan
hati nuraninya dengan membuatkan nilai palsu bagi siswa. Seolah pemerintah
sedang mengusahakan perbaikan kualitas pendidikan, namun di balik usah itu
hanyalah untuk merampok uang rakyat.***
Penulis adalah Guru BP
Brigjend Katamso I Medan, Alumnus Pendidikan Luar Sekolah, FIP, UNIMED.
Dipublikasikan oleh Harian Analisa, 13 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar