Selasa, 18 Juni 2013

KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA


Kualitas Pendidikan Berdaskan Nilai Palsu
 Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Selesailah sudah diumumkan hasil dari pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2013, mulai dari jenjang SMA/SMK, SMP, dan bahkan SD. Hasil pengumuman tersebut membuat kita sangat terkejut! Sepertinya dengan kehadiran nilai hasil Ujian Nasional tahun ini, kualitas pendidikan kita semakin membaik. Padahal, kenyataannya tidaklah demikian!
Betapa tidak? Untuk pelaksanaan UN SMA tahun pelajaran 2012/2013, jumlah pesertanya 1.581.286 siswa, dan yang lulus 1.573.036 siswa atau 99,48 persen, sedangkan yang tidak lulus hanya 8.260 siswa atau 0,52 persen saja. (metrotvnews.com, 23/05/2013). Selanjutnya berdasarkan pengumuman dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah peserta Ujian Nasional(UN) pada tingkat SMP/MTs pada tahun pelajaran 2012/2013 mencapai 3.667.241 peserta, sebanyak 3.650.625 atau 99,5 persen dinyatakan lulus. Sementara yang tidak lulus sebanyak 16.616 atau 0,45 persen.(sindonews.com,31/05/2013). Dan untuk jenjang SD pasti di atas 99 persen juga. Hal ini terbukti dari salah satu kota di Indonesia, yaitu Kota Medan, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Medan, disebutkan bahwa tingkat kelulusan Ujian Nasional(UN) Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah di Kota Medan tahun 2013 mencapai 99,99 persen.(http://liputanbisnis.com, 10/06/2013).
Sesungguhnya, kelulusan yang diperoleh para siswa di setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK dengan persentase mencapai 99 persen adalah sebuah pembohongan publik yang “disulap” oleh para pengambil kebijakan –Pemerintah. Dengan data hasil nilai UN, pemerintah bermaksud menutup mata rakyat, walaupun sebenarnya mereka sudah mengetahui bahwa kondisi sarana dan prasarana pendidikan Indonesia sangatlah memprihatinkan. Itu semua dilakukan demi memperkaya diri sendiri dan kelompoknnya saja.
 Kenyataan dari sarana dan prasarana yang memprihatinkan itu sudah jelas dari laporan Mendikbud, Mohammad Nuh, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR. Yaitu,  88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal (SPM): 40,31 persen dari 201.557 sekolah di bawah SPM dan 48,89 persen pada posisi SPM. Hanya 10,15 persen memenuhi standar nasional pendidikan dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional (Kompas, 23/3/2011).
Oleh karena itu, jika mutu standart pelayanannya hanya memadai sekitar 10,15 persen, bagaimana mungkin bisa siswa dari SD hingga SMA/SMK mencapai kelululusan hingga mencapai 99 persen. Bukankah nilai hasil UN yang diumumkan pemerintah itu adalah sebuah pembohongan publik yang menyengsarakan kehidupan rakyat di masa mendatang?
Nah, sekarang saja kualitas pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal dari negara maju, akibat dari ketidakseriusan pemerintah dalam membenahi sistem pendidikan. Alhasil, pendidikan kita telah gagal melahirkan manusia yang unggul dan berkarakter. Walaupun dengan angka hasil UN yang begitu memuaskan lewat tampilan datanya, namun sesugguhnya kita telah tertinggal jauh dengan negara maju.
Apa yang ditanam, itulah yang akan dituai”. Sebaris kata-kata bijak tersebut sangat tepat menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Dan memang, berdasarkan Tabel Liga Global yang diterbitkan oleh Firma Pendidikan Pearson, Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Sedangkan peringkat pertama dan kedua diraih oleh Finlandia dan Korea Selatan. (http://www.bbc.co.uk.07/11/2012) Pendidikan kita sudah sangat jauh tertinggal dengan negara-negara maju. Nah, kalaulah demikian, apakah pemerintah masih lagi sibuk dengan pelaksanaan UN yang hanya menghasilkan nilai palsu?
Nilai Palsu
            Dengan tegas, saya menyimpulkan bahwa nilai hasil UN siswa SMA/SMK hingga SD, sebagian besar adalah nilai palsu atau nilai yang tidak sebenarnya. Artinya, nilai yang diperoleh siswa dari pelaksanaaan UN tidaklah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Nilai para siswa banyak yang “disulap” oleh pihak sekolah atau guru dikarenakan desakan dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Dinas Pendidikan didesak oleh pemerintah pusat –rahasia umum kebijakan pemerintah yang memaksakan.
Ketika kebijakan harus dijalankan, para guru hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya –kemana saja disuruh harus menurut. Apabila para guru tidak menjalankan kebijakan dari Pemerintah yang turun ke Dinas Pendidikan, dan turun lagi ke Kepala Sekolah, maka ancaman dipecat pun akan “menghantui” pikiran para guru. Sementara dengan keadaan sekarang yang sulit untuk mencari pekerjaan, mau tidak mau, terpaksalah para guru melawan hati nuraninya dengan membantu siswa saat Ujian Nasional. Ini adalah sebuah kenyataan yang begitu memprihatikan di dunia pendidikan kita sekarang. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus.
            Karena dengan adanya pemalsuan nilai, sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa penghargaan untuk siswa yang berprestasi sangatlah sedikit. Siswa yang belajar dengan rajin hanya mendapatkan nilai 8 dan nilai 9, sedangkan  yang malas belajar nilainya bisa mencapai 7 dan 8, bahkan ada juga mencapai nilai 9. Jelaslah dengan pemberian nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa ini mengakibatkan semakin melemahnya semangat juang para siswa untuk mengejar prestasi.
Hemat saya, pemerintah harus menghentikan pelaksanaan UN sebagai alat pengevaluasi kualiatas pendidikan dan penentu kelulusan siswa. Pelaksanaan UN hanya menghasilkan nilai palsu dan mematahkan semangat siswa untuk berprestasi. Akibatnya, banyak siswa yang setelah selesai dari sekolahnya hanya memiliki nilai tinggi, tetapi tidak memiliki kemampuan atau keterampilan. Dengan kata lain proses pendidikan kita hanya menghasilkan manusia palsu –tidak sesuai nilai yang diperoleh dengan kemampuan yang dimiliki.
Oleh karena itu, pemerintah haruslah mengembalikan hak sekolah atau guru untuk menilai siswa dengan sejujur-jujurnya, tanpa ada tekanan. Ketika guru sudah menilai dengan sejujur-jujurnya maka secara otomatis siswa pun akan memiliki kesadaran untuk belajar lebih rajin lagi. Siswa akan mengetahui secara jelas, sudah sejauh mana kemampuan yang dimilikinya lewat penilaian yang diberikan oleh guru. Dengan demikian penilaian dari guru pun berguna sebagai bahan perbaikan untuk siswa supaya bisa meningkatkan prestasinya.
Akhir kata, semoga pemerintah tidak memelihara budaya kepalsuan, yaitu menyuruh guru melawan hati nuraninya dengan membuatkan nilai palsu bagi siswa. Seolah pemerintah sedang mengusahakan perbaikan kualitas pendidikan, namun di balik usah itu hanyalah untuk merampok uang rakyat.***
Penulis adalah Guru BP Brigjend Katamso I Medan, Alumnus Pendidikan Luar Sekolah, FIP, UNIMED.
Dipublikasikan oleh Harian Analisa, 13 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar