DANIEGO MENJADI DANI
Oleh:
Nasib Tua Lumban Gaol, S.Pd
“Daniego, hentikan kalian
permainan sepak bolanya Nak!” Demikianlah setiap hari Ibu Sabar, guru kelas 6
SD mengingatkan Daniego dan temannya supaya tidak bermain bola kaki di pagi
hari. Ibu Sabar kuatir, konsentrasi anak-anak dalam belajar bisa tergangu,
kerena kelelahan bermain sepak bola.
Pada Sabtu pagi, ketika
di sekolah, Kepala Sekolah, Pak Tulus, menghampiri seorang anak perempuan. “Ibu
Sabar, hari ini tidak ke sekolah Nak, kerena sakit.” Cerita Pak Tulus kepada
Kasih.
Setelah Pak Tulus pergi ke kantor kepala
sekolah, Kasih pun tidak tinggal diam. Kasih langsung berlari ke kelas untuk
bercerita kepada teman-temannya. “Kata Pak Tulus teman-teman: Ibu Sabar hari
ini tidak ke sekolah kerena sakit.” Mendengar cerita Kasih, teman-temannya pun bersedih.
Mereka takut Ibu Kasih sakit parah.
Dari luar kelas, Daniego
menguping pembicaraan Kasih dengan teman-taman satu kelasnya. Setelah selesai Kasih
menceritakan keadaan Ibu Sabar, tiba-tiba Daniego berteriak sangat keras.
“Horeee... Ibu Sabar tidak masuk sekolah hari ini. Berarti, saya dan
teman-teman bisa bermain bola kaki dengan sepuas-puasnya dong..! Horeee...”
Kasih dan temannya
tidak menghiraukan teriakan Daniego. Mereka tetap melanjutkan pembicaraan
mengenai Ibu Sabar. “Bagaimana, kalau pulang sekolah kita pergi melihat Ibu
Sabar, teman-teman?” Kasih menanyakan semua temannya, dengan bola matanya
berkaca-kaca.
Ketika masuk ke dalam kelas,
Daniego mendadak langsung menjawab dengan cetus. “Ngapain kita pergi ke tempat
Ibu Sabar? Ibu itu kan, tidak pernah sayang kepada kita, saya dan teman
laki-laki lainnya selalu dilarang bermain sepak bola. Kan, ibu itu aneh?”
“Terserah kamu Daniego...!”
Kasih menjerit. Kasih tidak mau bertengkar dengan Daniego, karena dalam
pemikiran Kasih, bertengkar tidaklah menyelesaikan permasalahan. Kasih yakin, Daniego
akan menyesali perkataannya yang tidak menghormati guru.
Daniego meletakkan
tasnya. Kemudian mengambil sebuah bola kaki dari tas tersebut. Daniego berlari
ke lapangan untuk mengajak teman-temannya bermain sepak bola. Permainan Sepak
Bola selalu ada karena Daniego setiap hari membawa bola dari rumahnya.
Sehingga, ketika Daniego mengajak temannya bermain bola, semua anak laki-laki satu
kelasnya pun langsung bersemangat untuk bermain sepak bola.
“Golll...!” teriak Daniego
setelah mencetak satu gol ke gawang lawan bermainnya. Tidak lama kemudian,
tiba-tiba terdengar suara “duarrr..”. Ternyata kaca jendela ruang kepala
sekolah pecah dibuat bola yang ditendang oleh Daniego.
Kring...Kring...Krinngngngn...!
Bel masuk kelas pun berbunyi. Tetapi Daniego dan temannnya yang bermain bola
tidak masuk kelas. Mereka masuk ke kantor kepala sekolah dan menghadap Pak
Tulus. Tiba-tiba Daniego mengangkat kepalanya, dan mengakui kesalahan yang
telah diperbuat kepada Pak Tulus sambil berkata, “Pak, saya minta maaf karena
saya telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah menjadi pecah.”
“Sebenarnya, kan,
kalian sudah dilarang untuk tidak bermain bola kaki di lingkungan sekolah ini,
tetapi, toh juga kalian masih bermain
sepak bola. Nah, inilah akibatnya kalau murid tidak taat pada nasehat guru.”
Tegas Pak Tulus kepada semua anak yang bermain bola kaki.
“Ibu Sabar sedang sakit. Apakah kalian sudah
tau, Nak? Tanya Pak Tulus dengan tenang. Pak Tulus mengalihkan pembicaraan
supaya anak-anak tidak begitu bersedih karena dimarahi.
“Saya sudah tahu Pak.
Tadi Kasih bercerita di dalam kelas: Ibu Kasih tidak dapat masuk karena sakit”
Daniego menjawab sambil bercampur perasaan menyesal. Dia berpikir, seandainya
tadi saya membicarakan tentang kunjungan kami ke rumah Ibu Sabar, pasti kaca
jendela kantor kepala sekolah tidak akan pecah. Yah, memang inilah akibat ego atau mementingkan diri sendiri.
“Baiklah kalau kalian
sudah tahu. Nah, Bapak tidak mau lagi melihat kalian bermain sepak bola.
Dengarkan Nak..?” Anak pun menjawab dengan gugup, “Dengar Pak”. “Baiklah kalau
begitu, hari ini Bapak memaafkan kalian, tetapi kalau kalian melakukan hal ini
lagi, kalian akan dipecat dari sekolah, karena tidak menaati nasehat guru.” Pak
Tulus membuat janji kepada anak-anak.
Daniego, dan
teman-temannya pun berjalan menuju kelas. Daniego hanya menundukkan kepalanya
ketika berjalan ke dalam kelas. Daniego sangat menyesali perbuatan yang
dilakukannya. Setiba di kelas, Daniego hanya terdiam.
Kasih dan teman perempuannya yang di kelas
bergeser ke tempat duduknya masing-masing. Pak Tulus pun sudah masuk ke dalam
kelas dan akan memulai pelajaran Matematika.
Namun, karena Daniego
telah membuat kaca jendela kantor kepala sekolah pecah, pelajaran matematika
pun ditiadakan Pak Tulus. “Kalian itu nak, dipercayakan orang tuamu di sekolah
ini untuk dididik oleh guru. Guru adalah orang tua kalian di sekolah ini.
Nasehat guru atau orang tua itu haruslah kalian patuhi, kalau tidak, kalian
akan mendapat akibat yang tidak baik.”
Pak Tulus melanjutkan
nasehatnya , “Daniego adalah contohnya Nak.! Karena dia tidak mematuhi nasehat
guru selama ini, dia terus bermain bola, hingga akhirnya kaca jendela kantor
kepala sekolah pun pecah. Bapak berharap, di sekolah dan di rumah kalian haruslah
selalu mentaati nasehat guru dan orang tua.”
Setelah Pak Tulus
menasehati anak-anak begitu lama, bel pulang pun berbunyi. Kringg..nggg...! Anak-anak
pun menyimpan buku dan alat tulisnya. “Okeh, nak kita akan pulang sekarang. Tapi,
sebelumnya mari kita berdoa, dan jangan lupa ya mendoakan Ibu Sabar. Semoga Ibu
Sabar cepat sembuh.” Pesan Pak Tulus. Setelah berdoa, anak-anak langsung keluar
dari ruang kelas dengan tertib sambil menyalami Pak Tulus.
Ketika Daniego telah
tiba di rumah. Daniego terdiam. Orang tuanya bingung melihat Daniego. “Kenapa kamu
diam nak?” Tanya Ayah Daniego. “Pak, saya tadi bermain sepak bola dengan
teman-teman di sekolah. Saya membuat kaca jendela kepala sekolah pecah. Dan kalau
saya bermain sepak bola lagi di sekolah, maka saya akan di pecat Pak.” Daniego
menjawab pertanyaan ayahnya.
“Saya sangat suka bermain sepak bola Pak.
Bagaimana ini Pak?” Lanjut Daniego bertanya dengan sangat sedih kepada ayahnya.
“Daniego, memang betul
yang dikatakan oleh gurumu itu Nak. Ya sudah begini saja, Daniego masuk sekolah
sepak bola saja! Di sana kemampuan bermain sepak bolamu akan semakin baik lagi apabila
kamu tekun berlatih.” Dengan senang hati Daniego pun menjawab, “Iya Pak, saya
mau.”
Di sekolah sepak bola
itu, Daniego berlatih dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya, Daniego menjadi pemain
sepak bola terbaik di Indonesia pada usia 12 tahun.
Daniego sadar bahwa
kemampuannya yang baik dalam bermain sepak bola adalah karena kepatuhannya
kepada nasehat guru dan orang tua. Daniego pun menjumpai Pak Tulus di kantor
kepala sekolah. “Pak, saya telah menjadi pemain bola terbaik di Indonesia pada
usia saya ini. Nasehat Bapak dan Ibu guru, dan juga orang tualah yang membuat
saya memperoleh cita-cita, yaitu pemain bola terbaik.” Cerita Daniego dengan
bahagia.
Daniego melanjutkan perkataannya, “Pak saya
mau meminta sesuatu kepada Bapak.” Pak Tulus pun menjawab, “apa yang bisa Bapak
bantu nak?” Daniego pun merasa bangga
karena ada tanggapan dari Pak Tulus. Kemudian Daniego berkata, “Pak saya
meminta tolon supaya Bapak mengganti nama saya.” Sebelumnya, Daniego telah diberi ijin oleh
kedua orang tuanya untuk mengganti namanya.
Hehehe... Dengan merasa
bangga Pak Tulus menjawab, “baguslah Nak. Kami semua guru sangat bangga
kepadamu. Untuk namamu tunggu sebentar ya nak..!”
Pak Tulus berdiskusi
dengan Ibu Sabar selama sepuluh menit. Akhirnya, Pak Tulus mengurangi nama
Daniego menjadi Dani. “Namamu jadi Dani, saja ya nak. Artinya kami gurumu telah
berhasil menghilangkan egomu.” Jawab Pak Tulus kepada daniego. Memang ego atau mementingkan diri sendiri
tidaklah akan membuat seseorang menjadi berhasil.
Lanjut Pak Tulus, “Semoga
kamu menjadi pemain bola terbaik di dunia ya nakku...!
Akhirnya setelah mendengar
penjelasan dari Pak Tulus, Dani pun merasa bangga dengan nama barunya. Dani menjadi
anak baik dan selalu taat terhadap nasehat guru dan orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar