BUKAN
AKU TIDAK MAU, IBU...!
Oleh:
Nasib Tua Lumban Gaol
“Amang, apa lagi yang kamu tunggu? Usiamu sudah 35 tahun, sementara
kamu belum menikah.” Demikian pertanyaan Ibu Untung kepada anaknya yang paling kecil, atau siampudannya (dalam bahasa Batak Toba).
“Oma, dang au naso olo mengoli: Ibu, bukan saya yang tidak hendak
menikah.” Untung menjawab pertanyaan ibunya. Dia sangat sedih karena setiap Untung
pulang kampung ke Samosir – dari Medan, ibunya selalu menanyakan hal itu.
Memang untung telah
bekerja sebagai Dosen di salah satu Universitas terbaik di Sumatera. Namun,
dengan usianya yang sudah sampai 35 tahun, kebahagian orang tuanya belumlah
sempurna karena untung belum menikah. Hal itulah yang selalu dipertanyakan ibu
Untung kepada anaknya tersebut.
Ibunyapun diajak untung
untuk ikut ke Medan. Untung sudah lama sekali ingin mengajak ibunya pergi ke
Medan, karena ketika pulang kampung ibunya selalu menanyakan keadaan tempat
tinggalnya yang sebenarnya. Ibunya kuatir kalau dia tinggal di Medan hanyalah kerja
dan tidak merawat dirinya.
Untung dan ibunya pun
sudah tiba di Medan.
Pada pagi hari sebelum
berangkat kerja ke Kampus untung berbicara dengan ibunya. “Ibu, tolong ya jangan
pertanyakan lagi tentang kapan saya akan menikah? Karena hal itu hanyalah menambah
beban saya ibu.” Ucap untung kepada ibunya dengan tatapan sedih di kedua bola
matanya.
“Baiklah Nak,..!” Ibu
untung pun menjawab anaknya dengan sedih.
“Ibu, saya permisi
pergi kerja ya.”
“Ya Nak..!”
Untung
pun menghidupkan sepeda motornya, kemudian pergi berangkat kerja.
Ketika untung telah
pergi bekerja, ibunya itu meneteskan air matanya. Dia kuatir dengan kondisi
anaknya kelak, apabila dia belum mempunyai istri. Dalam pikiran ibu itu, “Betapa
menderitanyalah nanti anakku ini apabila saya sudah menghadap Sang Pencipta.”
Segera
ibu itu berjalan ke arah kamarnya, kemudian di kamar itu, ibu untung menutupkan
pintu. Kemudian dia berlutut berdoa kepada Tuhan. “Ya, Tuhan, betapa sudah tuanya anakku, akan
tetapi dia belum menemukan teman hidupnya. Apakah Tuhan mengkehendaki dia
supaya hidup melajang?”
“Oh
Tuhan, biarlah kiranya Tuhan mempertemukan dia dengan teman hidupnya, yang
dapat menolong dia supaya lebih baik lagi dalam melakukan pekerjaannya.” Lanjut
Ibu Untung berdoa.
Setelah
selesai berdoa, Ibu Untung memiliki ide untuk anaknya supaya melepas status
kelajangannya. Walaupun dia tahu bahwa menikah itu adalah karunia dari Tuhan, dan
tidak menikah itu juga adalah karunia Tuhan.
“Berusaha. Harus berusahalah aku
supaya anakku ini bisa secepatnya menikah.” Demikianlah Ibu Untung berbicara
dalam hatinya.
Beberapa
waktu kemudian, Ibu Untung menelpon pariban Untung dari Bandung. Kebetulan wanita
itu masih berusia 27 tahun. Ibunya berpikir, apabila nanti Untung bertemu
dengan paribannya itu yang sudah bekerja sebagai Bidan, Untung pasti mau
menikah dengannya.
“Tiur,
kapan kamu pulang dari Bandung, maenku(Artinya
anak dari saudara laki-laki ibu Untung)?” Ibu Untung bertanya dengan harapan
Tiur mau menikah dengan Untung
“Minggu
depan namboru.” Saut Tiur
“Ohh, baiklah maen,”
Seketika pulang dari Bandung.
Untung diajak ibunya ke rumah Tiur. Mereka pun berkenalan di sana. Tapi sayang,
Untung tidak begitu tertarik dengan Tiur. Padahal begitu melihat untung, Tiur
langsung jatuh hati.
Mereka pun tiba-tiba
pulang dari rumah Tiur.
Setelah tiba di di
rumah, Ibu Untung bertanya. “bagaimana Untung, apakah kamu tertarik melihat
paribanmu si Tiur itu? Dia itu telah bekerja sebagai bidan Nak. Kalau kamu
menikah dengan dia, kehidupan kalian pasti akan bahagia Nak.”
“Saya tidak suka Oma dengan si Tiur itu..!” Untung
menjawab pertanyaan Ibunya dengan kesal.
“Seandainya saya tahu,
bahwa tujuan ibu mengajak saya ke rumah Tiur hanya untuk mempertemukan saya
dengan Tiur, maka saya tidak akan ikut tadi bersama Ibu ke rumahnya.” Lanjut
Untung dengan suara marah kepada ibunya.
“Ibu saya sudah berusah
untuk mencari teman hidupku. Namun, apalah boleh saya katakan. Sekian lama saya
berteman dengan Uli, tiga tahun yang lalu. Dan harapan saya dialah menjadi
istri nantinya, etapi apa yang terjadi, malah dia telah menikah dengan pria yang
lain.”
Untung termasuk manusia
yang idealis. Dia tidak sembarang menaburkan cintanya kepada orang. Ketakutannya
untuk menikah dikarenakan pengalaman bercintanya yang begitu mengecewakan, dan juga
belum ditemukannya wanita yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkannya.
Akhirnya, dalam hidup
itu yang benar akan selalu bertahan hidup. Namun, tidak selamanya apa yang
benar bagi kita, itu benar bagi orang lain. Oleh karena itu, Untung hanya berpikir
sederhana bercampur teologis. “Biarlah semua terjadi indah pada waktunya Ibu,
Ibu tidak perlu lagi memaksa saya untuk menikah. Apabila nantinya Tuhan mau
saya menikah, Dia pasti menunjukkan teman hidup yang sepadan dengan saya.”
Rumah pun menjadi hening.
Sehening kuburan di malam hari. Untung dan Ibunya terdiam membisu selama satu
jam. Setelah itu untung pergi ke kamarnya dan berdoa, kemudian tidur.
Dan Ibu untung pun
pergi ke kamarnya, dan selalu mendoakan anaknya supaya mendapatkan teman
hidupnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar