Kamis, 20 Juni 2013

CERPEN_ANAK YANG MENANTIKAN JODOHNYA



BUKAN AKU TIDAK MAU, IBU...!
Oleh: Nasib Tua Lumban Gaol
Amang, apa lagi yang kamu tunggu? Usiamu sudah 35 tahun, sementara kamu belum menikah.” Demikian pertanyaan Ibu Untung  kepada anaknya yang paling kecil, atau siampudannya (dalam bahasa Batak Toba).
Oma, dang au naso olo mengoli: Ibu, bukan saya yang tidak hendak menikah.” Untung menjawab pertanyaan ibunya. Dia sangat sedih karena setiap Untung pulang kampung ke Samosir – dari Medan, ibunya selalu menanyakan hal itu.
Memang untung telah bekerja sebagai Dosen di salah satu Universitas terbaik di Sumatera. Namun, dengan usianya yang sudah sampai 35 tahun, kebahagian orang tuanya belumlah sempurna karena untung belum menikah. Hal itulah yang selalu dipertanyakan ibu Untung kepada anaknya tersebut.
Ibunyapun diajak untung untuk ikut ke Medan. Untung sudah lama sekali ingin mengajak ibunya pergi ke Medan, karena ketika pulang kampung ibunya selalu menanyakan keadaan tempat tinggalnya yang sebenarnya. Ibunya kuatir kalau dia tinggal di Medan hanyalah kerja dan tidak merawat dirinya.
Untung dan ibunya pun sudah tiba di Medan.
Pada pagi hari sebelum berangkat kerja ke Kampus untung berbicara dengan ibunya. “Ibu, tolong ya jangan pertanyakan lagi tentang kapan saya akan menikah? Karena hal itu hanyalah menambah beban saya ibu.” Ucap untung kepada ibunya dengan tatapan sedih di kedua bola matanya.
“Baiklah Nak,..!” Ibu untung pun menjawab anaknya dengan sedih.
“Ibu, saya permisi pergi kerja ya.”
“Ya Nak..!”
            Untung pun menghidupkan sepeda motornya, kemudian pergi berangkat kerja.
Ketika untung telah pergi bekerja, ibunya itu meneteskan air matanya. Dia kuatir dengan kondisi anaknya kelak, apabila dia belum mempunyai istri. Dalam pikiran ibu itu, “Betapa menderitanyalah nanti anakku ini apabila saya sudah menghadap Sang Pencipta.”
            Segera ibu itu berjalan ke arah kamarnya, kemudian di kamar itu, ibu untung menutupkan pintu. Kemudian dia berlutut berdoa kepada Tuhan. “Ya,  Tuhan, betapa sudah tuanya anakku, akan tetapi dia belum menemukan teman hidupnya. Apakah Tuhan mengkehendaki dia supaya hidup melajang?”
            “Oh Tuhan, biarlah kiranya Tuhan mempertemukan dia dengan teman hidupnya, yang dapat menolong dia supaya lebih baik lagi dalam melakukan pekerjaannya.” Lanjut Ibu Untung berdoa.
            Setelah selesai berdoa, Ibu Untung memiliki ide untuk anaknya supaya melepas status kelajangannya. Walaupun dia tahu bahwa menikah itu adalah karunia dari Tuhan, dan tidak menikah itu juga adalah karunia Tuhan.
            “Berusaha. Harus berusahalah aku supaya anakku ini bisa secepatnya menikah.” Demikianlah Ibu Untung berbicara dalam hatinya.
            Beberapa waktu kemudian, Ibu Untung menelpon pariban Untung dari Bandung. Kebetulan wanita itu masih berusia 27 tahun. Ibunya berpikir, apabila nanti Untung bertemu dengan paribannya itu yang sudah bekerja sebagai Bidan, Untung pasti mau menikah dengannya.
            “Tiur, kapan kamu pulang dari Bandung, maenku(Artinya anak dari saudara laki-laki ibu Untung)?” Ibu Untung bertanya dengan harapan Tiur mau menikah dengan Untung
            “Minggu depan namboru.” Saut Tiur
“Ohh, baiklah maen,”
Seketika pulang dari Bandung. Untung diajak ibunya ke rumah Tiur. Mereka pun berkenalan di sana. Tapi sayang, Untung tidak begitu tertarik dengan Tiur. Padahal begitu melihat untung, Tiur langsung jatuh hati.
Mereka pun tiba-tiba pulang dari rumah Tiur.
Setelah tiba di di rumah, Ibu Untung bertanya. “bagaimana Untung, apakah kamu tertarik melihat paribanmu si Tiur itu? Dia itu telah bekerja sebagai bidan Nak. Kalau kamu menikah dengan dia, kehidupan kalian pasti akan bahagia Nak.”
“Saya tidak suka Oma dengan si Tiur itu..!” Untung menjawab pertanyaan Ibunya dengan kesal.
“Seandainya saya tahu, bahwa tujuan ibu mengajak saya ke rumah Tiur hanya untuk mempertemukan saya dengan Tiur, maka saya tidak akan ikut tadi bersama Ibu ke rumahnya.” Lanjut Untung dengan suara marah kepada ibunya.
“Ibu saya sudah berusah untuk mencari teman hidupku. Namun, apalah boleh saya katakan. Sekian lama saya berteman dengan Uli, tiga tahun yang lalu. Dan harapan saya dialah menjadi istri nantinya, etapi apa yang terjadi, malah dia telah menikah dengan pria yang lain.”
Untung termasuk manusia yang idealis. Dia tidak sembarang menaburkan cintanya kepada orang. Ketakutannya untuk menikah dikarenakan pengalaman bercintanya yang begitu mengecewakan, dan juga belum ditemukannya wanita yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkannya.
Akhirnya, dalam hidup itu yang benar akan selalu bertahan hidup. Namun, tidak selamanya apa yang benar bagi kita, itu benar bagi orang lain. Oleh karena itu, Untung hanya berpikir sederhana bercampur teologis. “Biarlah semua terjadi indah pada waktunya Ibu, Ibu tidak perlu lagi memaksa saya untuk menikah. Apabila nantinya Tuhan mau saya menikah, Dia pasti menunjukkan teman hidup yang sepadan dengan saya.”
Rumah pun menjadi hening. Sehening kuburan di malam hari. Untung dan Ibunya terdiam membisu selama satu jam. Setelah itu untung pergi ke kamarnya dan berdoa, kemudian tidur.
Dan Ibu untung pun pergi ke kamarnya, dan selalu mendoakan anaknya supaya mendapatkan teman hidupnya.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar